“Mba, bagaimana menjalani kehidupan single parent?”
Sebuah pertanyaan melalui DM Instagram menggelitik pikiran saya kala itu. Antara kurang nyaman untuk membahasnya, atau saya harus jabarkan pengalaman saya. Dan karena pengirim pesan tersebut mengakui bahwa ia sedang berproses untuk bercerai, maka saya pun kembali membuka diri, dan mau berbagi soal ini.
Harus saya akui, ketika menjadi orangtua tunggal (single parent), itu artinya saya memasuki fase kehidupan yang baru. Tentu saja butuh penyesuaian dalam berbagai hal. Mulai dari pola pengasuhan anak, atau kaitannya dengan kebiasaan dan langkah-langkah yang akan ditempuh ke depannya. Belum lagi perihal sosok diri sendiri yang citranya telah berubah di kalangan keluarga atau masyarakat. Belum lagi bagaimana saya bisa menetralisir segala rasa dan kecamuk yang ada dalam pikiran saya. Banyak banget PR nya.
Tapi kemudian, saya mulai menyadari, bahwa proses menjalani kehidupan di fase baru ini penuh tantangan, sebuah fase baru yang tidak boleh membuat saya lengah, namun juga tidak boleh membuat saya terlalu ngotot. Sehingga, idealnya bagaimana menyeimbangkan keduanya.
Bicara seimbang, dalam benak saya adalah bagaimana bekerja sama dengan pak mantan. Karena bagaimanapun juga, anak-anak sebaiknya tetap bisa melihat kedua orangtuanya ada, akur. Syukur-syukur bisa memiliki quality time sewaktu-waktu, lengkap bersama anak. Hanya saja, kondisi ini akan sulit ditempuh jika sang mantan sulit diajak kerja sama. Jadi, tetapkan plan B bagaimana membangun pola asuh terhadap anak, meski seorang diri.
Ada hal-hal yang menjadi tantangan ketika menjadi seorang single parent, silakan dibaca dengen tenang, sambil menyeduh kopi atau teh.
Hubungan dengan Anak
Karena merasa bersalah sama anak-anak, itu malah membuat lengah aturan yang sudah dibuat. Dalam hal ini bicarakan dengan pak mantan, bahwa anak-anak harus punya aturan, misal tentang jam bermain gawai, jam belajar, atau jam bermain di luar.
Jadi ketika anak-anak bertemu sang ayah pun, mereka melihat bahwa kedua orangtuanya tetap kompak dalam membuat aturan. Kecuali… selalu ada opsi. Kecuali jika pak mantan enggak muncul-muncul dalam keseharian anak-anak, maka aturan sepenuhnya ada di tangan ibu. Hanya saja, kondisi ini bisa dimanfaatkan oleh anak-anak. Ketika mereka bertemu ayahnya, mereka akan mengadu, dan sang ayah bisa saja lengah.
Mengelola Emosi
Seperti postingan saya sebelumnya tentang “Bagaimana Menjadi Orangtua Tunggal“, it’s ok if you are not ok. Orangtua tunggal juga manusia biasa. Ada saat-saat di mana mengalami kekacauan emosi.
Nah, ajak anak-anak untuk berempati pada kondisi kita. Jikapun harus menangis di depan anak-anak, menangislah. Bukan karena kita lemah, namun ini sekaligus mengajarkan kepada anak-anak juga tentang mengelola emosi mereka.
Dari situ juga mereka akan belajar peduli, dan bagaimana membantu seseorang yang sedang sedih. Selain itu, jika ada sahabat atau keluarga yang bisa diajak bicara, maka bicaralah. Atau perbanyak berdoa dan berserah.
Perasaan Bersalah
Ngerti banget! Pasti kondisi ini dirasakan oleh setiap single parent. Tapi sebaiknya jangan terjebak dalam perasaan ini. Anak-anak pun sebaiknya diajarkan untuk kuat.
Perpisahan itu pasti menyedihkan, namun hal tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk tidak mengarahkan anak-anak agar menjadi pribadi yang kuat, dan tetap berkarya melalui kegiatan positif dan aktivitasnya sehari-hari.
Meskipun orangtuanya telah berpisah, beri motivasi bahwa mereka tetap bisa berprestasi dalam segala hal sesuai dengan potensinya masing-masing.
Komunikasi dengan Mantan
Dalam segala hal, komunikasi adalah salah satu kunci agar sebuah hubungan bisa berjalan dengan mantan. Sebagian ada yang mengikuti ego masing-masing dan tidak ingin membuka percakapan terlebih dahulu.
Namun, dalam pengalaman saya, lebih baik saya membuka komunikasi saja, karena kepentingannya untuk anak-anak, bukan urusan pribadi.
Sejauh ini, hal tersebut cukup berjalan baik. Namun tentu saja, harus dilakukan terus-menerus dengan penuh kesabaran. Niatkan saja untuk kebaikan. Bagaimana responnya, terserah dia, namun tetap siapkan mental jaga-jaga komunikasi tersebut kurang berjalan dengan baik. Jika sang manta kurang kooperatif, maka siapkan diri untuk mengambil semua bagian seorang diri. Ini lebih baik daripada kita kesal dibuatnya. Yakin saja bahwa Allah Swt selalu punya cara dalam menguatkan kita.
Tetap Tenang dengan Mantan di Depan Anak-Anak
Bisa jadi, dalam waktu-waktu tertentu, orangtua lupa telah melakukan pertengkaran di depan anak-anak. Apalagi setelah berpisah. Adu mulut atau berdebat ini-itu bisa saja lepas kendali.
Nah, sebaiknya saling menahan ketika berada di depan anak-anak. Jika perpisahan berakhir dengan buruk, ini juga yang menjadi pr besar, karena boro-boro ingin komunikasi (istilahnya), lihat wajah atau dengar namanya aja, uwek kan? heheheh.
Keep calm and smile aja.
Pengaturan Keuangan
Jika dulu suami istri bekerja, dan ada dua pintu pemasukan, lalu saat bercerai maka pintu pemasukan sang ibu hanya satu (pahitnya begitu). Jadi, mulailah benahi pengaturan keuangan. Lebih disiplin lagi untuk pos-pos pengeluaran.
Kalau saya pada akhirnya selalu menggunakan rumus mau atau butuh saat inginkan sesuatu. Jikapun butuh, pastikan pos-pos yang lain masih aman. Setidaknya, saya masih boleh memberi reward untuk diri saya sendiri, dari hasil pendapatan sendiri.
Ya gitu deh, makan-makan sendiri, cari uang; cari uang sendiri, dipakai ya juga buat sendiri. Akur? 😀
Keluarga Besar
Saya bersyukur memiliki kedua orangtua yang sangat kooperatif ketika pada akhirnya saya menjalani status sebagai single parent. Beliau terkadang turut menolong saya dalam mengawasi anak-anak saat saya harus bekerja ke luar kota.
Buat saya tidak apa, dan tidak masalah. Saya menyadari kekurangan diri, dan ketika saya harus meninggalkan anak-anak untuk urusan pekerjaan, maka saya harus memastikan bahwa mereka berada di lingkungan yang tepat. Ya siapa lagi kalau bukan keluarga, dan orangtua?
Sebaliknya untuk keluarga mantan, berjalan senatural saja. Toh, tidak bisa dipaksakan mereka harus gimana-gimana sama cucunya. Mereka punya cara sendiri dalam menunjukkan kepeduliannya
Quality Time
Sesibuk-sibuknya menjadi seorang single parent yang double pekerjaan, tetap luangkan waktu untuk bersama anak-anak. Entah itu membuat rencana liburan bersama, atau sekadar di rumah, menghabiskan waktu untuk menonton.
Karena eranya sekarang serba digital, ajak bicara juga anak-anak dalam penggunaan gawai. Jangan sampai saat bersama, malah sibuk masing-masing dengan gawainya.
Bagian ini kalau boleh jujur, masih PR buat saya. Karena kadangkala pekerjaan saya mengharuskan saya berada di balik laptop. Jadi yang terpenting tetap komunikasikan sama anak-anak bahwa ibunya butuh waktu untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Single Happy
Ternyata lagu yang dibawakan Oppie Andaresta itu, lumayan cocok dengan keseharian saya saat ini. Yup, I’m single and very happy.
Tapi juga ini bukan keputusan terakhir dalam proses perjalanan saya. Tagline tersebut adalah sebagai bentuk cara saya berdamai dengan diri saya. Meski sebenarnya, ada saat-saat tertentu saya berada dalam kondisi yang lemah. Jangan juga dibayangkan bentuknya seperti apa, fase kondisi tersebut hanya sesama single parent saja sepertinya yang bisa memahami.
Jadi, fokus untuk terus melangkah saja, ciptakan ketenangan dan kedamaian setiap harinya. Buka jejaring seluas-luasnya. cari hobi baru, atau lakukan hal-hal yang menyenangkan. Ingat, jangan biarkan diri kita kesepian, murung terus-menerus. Karena perceraian adalah sebuah pilihan, maka berbahagialah dengan pilihan tersebut.
Whiuft, panjang juga ya tulisan kali ini. Semoga bisa memberikan pencerahan untuk teman-teman single parent di luar sana. Percaya saja, fase ini tidak mudah, namun juga bisa kita atasi selama kita yakin dan tetap optimis melihat langkah ke depan.
You are not alone!
Rahmi Aziza says
Semangat yaa makpon Mira Sahiid. Selalu menginspirasi ?? Tulisan ini pastinya memberikan manfaat dan kekuatan bagi single parent lainnya. Juga pelajaran yg berharga bagi banyak orang.
Mira Sahid says
Aamiin, Inshaallah
irvan manalu says
mungkin mbak bisa ditambahkan, cara menghindari jadi perasaan bersalah pada diri sendiri agar tidak mengganggu pada hal lainnya
Caroline Adenan says
Stigma single parent itu sangat berat ya diterima oleh masyarakat. Terlebih lg dr diri kita yg menjalaninya. Apalagi kalo sang mantan memang masih hidup dan susah diajak kerjasama soal pengasuhan anak.
Semoga cerita ini bs menjadi insight para single parent diluar sana ya.
Suci says
Aku baru tau mb single parent. Aku merasa smakin termotivasi dan terinspirasi jadinya.
“ada saat-saat tertentu saya berada dalam kondisi yang lemah. Jangan juga dibayangkan bentuknya seperti apa, fase kondisi tersebut hanya sesama single parent saja sepertinya yang bisa memahami.”
ya ampunn ini betul sekali..
makasi mb tulisannya mantul hehe
Wahyu Purwaningsih says
Semangat mba !