Mata Najwa, sebuah program yang disuguhkan oleh Metro TV malam ini, sukses membuat saya tidak ingin beranjak dari kursi dan memindahkannya ke channel lain. Memang, selama ini Metro TV masih unggul dibanding statsiun televisi lainnya dalam menyuguhkan program-program berbeda dan berkualitas. Dan siapa sangka diantara banyaknya program yang menginspirasi, kisah malam ini berhasil membuat saya menganga. (umh, ini siaran ulang apa memang jadwalnya, ya?) xixixi.
Adalah seorang Tri Rishmaharini, alias Ibu Risma, Walikota Surabaya yang sudah mendapatkan lebih dari 50 penghargaan didapatnya, termasuk penghargaan sebagai walikota terbaik di dunia, hadir dengan kisahnya dan tentu saja menjadi tontotan jutaan manusia malam ini. Apa yang coba Najwa angkat dalam sesi bersama Walikota terbaik ini? Ah, tentu teman-teman sudah menontonnya, kan? Namun, sampai akhirnya saya menuliskan kembali di blog ini, bukan karena saya ingin menceritakan kembali apa yang disuguhkan dalam tayangan tersebut, namun lebih kepada pembelajaran yang saya dapatkan pada beberapa scene yang langsung masuk ke dalam alam bawah sadar saya.
Najwa bertanya pada Ibu Risma, apakah Bu Risma yakin akan mundur dari jabatannya saat ini? Sementara 2 lembaga survey UI pun telah mencatat bahwa Bu Risma berhasil masuk dalam bursa suara untuk pencalonan Presiden. Dan hebatnya Najwa, pertanyaan tersebut diulang-ulang, hingga Ibu Risma pun menitikkan air mata dan tak kuasa menjawabnya. Dan aku pun ngembeng, beib -__- (oposech…?!)
Saya selalu meyakini bahwa di dunia ini tidak ada yang kebetulan. Adapun sampainya saya bisa menonton Mata Najwa pun bukanlah kebetulan. Seperti sebuah resonansi yang saling menarik, saat ini saya seperti merasa diingatkan oleh Allah Swt pada apa yang menjadi harapan dan cita-cita saya, atau mungkin hal-hal yang sempat tertunda selama ini. Bisa jadi tanpa disadari dan dengan banyaknya (alias sok sibuk) aktivitas serta bumbu-bumbu yang tercurah di dalamnya, saya pernah berada pada titik tersebut. Rasanya saya sudah capek dengan semuanya, rasanya saya ingin mundur, melepaskan semuanya. Apalagi jika banyak hal yang sempat singgah di hati secara tidak nyaman. Itulah pelajaran yang saya dapatkan dari pertanyaan Najwa, tentang sebuah keyakinan dalam diri.
Saya menyadari, manusia itu bukanlah makhluk sempurna, namun degan segala kekuatan yang ada dalam dirinya, ia mampu memaksimalkan potensi dan kekuatannya untuk kembali bangkit dari hal-hal yang membuat rasa, pikiran dan ekspektasinya tercabik-cabik. Bagaimana dan apa yang harus saya lakukan saat semua keyakinan kembali melemah dalam diri, bahkan saat hanya ada “aku” yang menemani diri ini?
Nafas damai….
Saya ingat betul sebuah twit yang saya baca dari timeline nya @pewski, “hadirkan DIA dalam setiap langkah, pikiran dan rasamu.” Jleb. Apakah benar selama ini saya tak pernah menghadirkanNYA dalam keseharian saya? Apakah benar, saya yang selalu mendapatkan kemudahan dariNYA, telah benar-benar melakukan semua hal dengan terus mengingatNYA, bahkan menghadirkanNYA dalam setiap ingatan saya? Benarkah saya melakukan hal-hal di dunia ini atas dasar karenaNYA? Apakah benar… benarkah saya? Semua kembali menjadi candu tanya yang tak ada habisnya.
Jika saja kendali diri ini sudah keluar batas, maka sangat bisa dipastikan. Jangankan bisa menghadirkan DIA dalam diri ini, yang ada saya hanya merasa diri ini sebagai makhluk yang paling punya kuasa atas kehidupan dan diri sendiri. Sementara, saya sendiri sangat tahu bahwa benar itu hanyalah DIA. Lalu, kehidupan bagian mana yang menjadi pembenaran untuk diri saya? Kembali lagi, saya membutuhkan sebuah ruang untuk menetralkan semuanya. Menetralkan segala energi yang membawa diri saya kehilangan kendali, memberikannya Love healing dan juga letting go. Just is! 2 teknik yang saya kenal dalam seminar awareness. Begitulah cara saya berdamai dengan hati. Setidaknya saya mengajak diri saya untuk berdamai dengan diri sendiri dulu sebelum berdamai dengan ketidaknyamanan di luar sana, dan memintanya untuk tidak menyerah sekarang. Bukankah ketidaknyamanan sejatinya membuat saya harus bisa lebih baik dan mendewasakan? Mengapa harus mundur jika saya bisa melangkah dengan lebih baik? Jikapun saya masih tertatih, tentulah akan banyak alasan dan pemakluman untuk diri saya sendiri. Karena hanya saya yang tau kapasitas dan kemampuan diri saya. Saya sendiri berharap ke depannya akan mampu meyakinkan diri saya kembali, jika perasaan, pikiran dan semua tindakan saya bersinergi secara tepat dalam kondisi netral. Bagaimana dengan teman-teman? Apa yang kalian lakukan untuk berdamai serta mengembalikan keyakinan dalam hati dan diri sendiri? Sharing yuk 🙂
Arifah Abdul Majid (@arifah_feibiii) says
mendekat pada Allah mak, saat merasa berat dalam langkah, saat merasa buntu dalam berusaha, atau saat semangat melemah..hanya Allah yang bisa kasih jalan keluar ^^
Mira Sahid says
Yup, mak. Super!!! 🙂
Mep says
Izin share ya mba ??
Nunu el Fasa says
Beda memang mbak orang yang bekerja tulus dan karena politik. Sampai diulang episode bu risma. Aih kaguuuum
Mira Sahid says
Oh ternyata siaran ulang ya, mak. Seandainya lebih banyak orang seperti bu Risma, ya
Lidya says
Hanya Pada Allah tempat mengadu dab berserah diri ya
Mira Sahid says
Rght, mak.
Santri Indigo says
Woow !! Blognya keren mbak,…
🙂
Mira Sahid says
Makasih, mba Santri 🙂
puteri amirillis says
Duuh mba kira aku dalem bgt rasanya denger tulisanmu ini, iya denger, eh…
yuk nangis bareng bareng. Pu juga terkadang gt, rasanya pengen mundur, ga suka, ga puas dg diri,semuanya. Tapi abis itu mikir, kok kejam bgt aku dg kehidupan ku sendiri. Sedang Allah sudah memberi semuanya. Allah memudahkan langkah kita. Allah ga pernah jauh. Duuh…yuk sama2 bangkit lg, setiap hari! Peluk peluk.
puteri amirillis says
Mb mira…bukan mb kira
Mira Sahid says
Iya, Pu… Xixixxi. Yuk, semangat, semangat
hana says
Susah kadang mba menghadirkanNya dalam keseharian kita karena biasanya kita udah sibuk sendiri. Udah ngerasa gagah, kalo ada masalah ngerasa bisa nyelesaiin semua sendiri.huhuhu
Edi Padmono says
Semua kehidupan mempunyai tantangan dan resiko tersendiri, jika keburukan selalu ingin berkuasa dan terus maju mengapa kebaikan harus mundur. Mungkin andingnya akan dramatis dan terhina oleh berbagai fitnah, tapi Allah tentu tidak akan diam untuk membersihkannya walaupun itu 10 atau 20 tahun kemudian.
ZUKO says
Bagus banget artikelnya jadi saya mulai berfikir ulang tentang semua hal yang telah terjadi dalam hidup saya.
apakah saya juga harus BERDAMAI DENGAN DIRI SAYA SENDIRI ? dengan memberikan ruang untukNYA agar saya lebih dekat.
karena sampai saat ini saya masih tertatih tatih untuk berjalan melangkahkan kaki kedepan dengan beban ini.
Delyanet Karmoni says
Berdoa adalah yang saya lakukan untuk berdamai dengan diri sendiri, mak mira. Saya masih sering nyalahin diri sendiri. Seringnya kalau pikiran itu muncul, rasa rendah diri juga muncul, tapi sekarang kalau sedih saya berdoa dengan keyakinan “yg ngasih cobaan adl Allah dan yang maha penolong juga Allah”, dengan begitu perasaan jadi lebih ringan.
Tetap menginspirasi, mak mira.. peluk hangat dari kota khatulistiwa, Pontianak.. xoxo
yos mo says
Aku masih sedikit sulit untuk berdamai dengan diri sendiri sist, kalau terkait dengan kisah sedih yang pernah ku ceritakan di grup percakapan itu.
fadhil says
mari berdamai dengan diri sendiri