Pada siapa seharusnya kita mengeluh?
Pada siapa seharusnya kita meminta?
Untuk apa kita melakukannya?
Seringkali kita bertemu dalam kondisi seperti itu. Ada banyak sekali pertanyaan yang muncul dalam pikiran, yang senantiasa mengharapkan jawaban yang memuaskan. Namun, tidak jarang pula, pertanyaan-pertanyaan tersebut seringkali menjebak kita pada sebuah asa yang tak berkesudahan. Jika boleh saya meminta malam ini, maka saya ingin Allah Swt memberikan kondisi yang lebih nyaman, yang lebih menyenangkan, sesuai dengan apa yang saya harapkan. Siapa yang tidak ingin, setiap saat dalam kondisi seperti itu. Bahkan kalau perlu, cukuplah saya mengenal kata bahagia di dunia ini. Bisakah?
Seperti sebuah kegiatan shooting film, maka adegan-adegan akan diulang beberapa kali hingga menemukan adegan yang pas dengan skenario. Dan beginilah hidup, senantiasa memberikan kita kesempatan melewati hal yang sama berulang-ulang, atau bahkan tanpa diduga harus melewati adegan dramatis lalu kembali melakoni peran yang biasa-biasa saja, akhirnya membosankan. Namun layaknya pemain film, kita pun dituntut untuk bisa melewati episode tersebut meski dengan karakter yang berbeda-beda. Sulit memang, tapi siapapun yang memilih perannya, ia akan berusaha semaksimal mungkin untuk memainkannya, agar bisa mendapatkan hasil yang terbaik. Yup, lagi-lagi… untuk yang terbaik.
Lalu, bagaimana kita tahu apakah hasil terbaik itu telah kita dapatkan? Saya sendiri tidak pernah memikirkannya, meskipun harapan itu selalu ada. Rasanya sakit jika mengetahui hasilnya, ternyata bukanlah yang terbaik. Akhirnya, saya kembali pada kondisi yang kurang nyaman, parahnya lagi, bersedih. Manusia!! Tapi justru karena saya manusia yang memiliki akal pikiran, kekuatan dan rasa, saya nggak boleh berhenti. Mungkin saja dibalik semua kondisi yang menurut saya hasilnya kurang baik, ada banyak hal baik yang telah saya dapatkan. Yup, get better things dari apa yang saya pikir bukanlah sesuatu yang baik. B.J. Habibie bilang, kalau tak ada bahu untuk bersandar, ada lantai untuk bersujud. Pun begitulah kehidupan, nggak perlu menunggu tersenyum untuk bahagia, tapi tersenyumlah… maka kita akan semakin bahagia.
Tetaplah menulis, maka kamu akan tau siapa dirimu – MS
Manusia selalu butuh pegangan ya mak… tak hanya seorang sahabat namun terlebih sang Maha menentukan yang wajib kita bersujud padaNya.
Agree, mak. Makasih yaa
Ceritakan padaNya, nanti akan lebih baik dan lega. Salam Senyuum. . . 🙂
As always, ya mak Idah. Makasih
ayo sama sama kita senyum emak, bahagia bersama #hug
hug balik ya, mak. Kasih senyum paling manis
Menyentuh Mak kalau tak ada bahu untuk bersandar, ada lantai untuk bersujud. Pun begitulah kehidupan, nggak perlu menunggu tersenyum untuk bahagia, tapi tersenyumlah… maka kita akan semakin bahagia.
Akh jadi ingat mata Mak Mira yang teduh. Mata yang mampu memberi bahu pada jiwa yang rapuh.
Ya ampun mak Tri, komentarmu malah bikin aku terharu. makasih mak. Sebagai manusia, saya mau belajar terus
hmmmm… speechless…
hhmmm… ngopi nih mak
AH iya mak, kadang kita menangisi bahu yang tak ada, lupa jika tempt kita berpijak ini bisa jadi tempat mengadu dengan bersujud kepada-Nya
Benar mak. Semoga kita selalu bisa mengingatNYA dalam kondisi apapun
Speechless bacanya, Maaak…
Semoga bermanfaat, mak
Kita perlu tantangan untuk membuat hidup ini lebih berwarna..kebahagiaan dan kesedihan selalu datang silih berganti..untuk bisa menjalaninya dgn baik, kita perlu Tuhan untuk bersandar..
Tulisannya kontemplatif, mak..
*baru kali ini komen di mari..hehe..semangat terus, mak Mira! 🙂
Aish, makasih sudah berkunjung dan kasih komentar, mak. Semoga bisa memberi manfaat
pegangan yang paling setia Allah ya mak
Suka kata-kata ini : “kalau tak ada bahu untuk bersandar, ada lantai untuk bersujud.”
Benar, Tuhan adalah sahabat sejati kita sampai kapanpun.
Ish lagi kenapah pas nulis ini? 😀
Ingatlah slalu kpd Sang Maha Kuasa, apapun keadaannya.. Get better things mak 😀