Bangun di pagi hari dengan kepala sakit dan terasa berat memang menganggu, alih-alih ingin segera beraktivitas, pilihan untuk tetap di atas kasur, menarik selimut dan terpejam seolah pilihan yang paling tepat untuk dilakukan. Meski dalam pejamnya mata, pikiran terus berselancar, saling mencumbu aneka dialog yang datang dan pergi.
Selama ini, aku percaya bahwa apa yang dijalani di kehidupan ini adalah sebuah peran yang Tuhan titipkan. Ada yang menyadarinya, namun nggak sedikit yang masih mencari-cari jawaban atas perannya. Jika pada akhirnya aku atau kamu menyadarinya, beruntunglah bahwa kita menjadi orang yang lebih dulu mengetahui akan potensi dan kemampuan yang kita miliki untuk dijalani dengan sebaik-baiknya.
Tetapi, apakah peran yang dijalani di kehidupan ini kerap sesuai dengan apa yang kita harapkan?
Sebelum menjawabnya, aku sendiri mencoba menelaah dan memahaminya. Karena pengalaman-pengalaman yang kulewati pun tak terhindar dari segala tantangan atau rintangan. Aku menaruh aneka harapan pada tiap langkah yang kujalani. Tidak jarang, emosi pun hadir menemaninya. Yah, kata siapa peristiwa-peristiwa di muka bumi ini selalu menyenangkan. Kadangkala kita butuh sedih, marah, kecewa, dan lain sebagainya untuk memahami makna di balik semua yang terjadi
Sebagai manusia biasa aku semakin menyadari bahwa stimulus dalam diri yang berupa logika dan perasaan ini, akan menghadirkan sebuah hasil. Jika keduanya berjalan baik, maka Inshaallah hasilnya pun baik. Namun sebaliknya, dalam stimulus itu juga, kadangkala ada selipan aneka harapan dan ekspektasi yang berlebihan, sesuai dengan keinginan diri sendiri. Inilah (mungkin) yang menjadi akar kecewa, ketika pada akhirnya harapan tak sesuai dengan kenyataan.
Aku belajar, sering juga berdiskusi atau sekadar mendengar para ahli dalam teori-teori pengembangan diri. But hey, to be honest, praktinya juga cukup menantang lho. Bukan berarti sulit untuk dijalani, tapi di sinilah sebuah berproses berjalan, belajar tanpa henti, hingga diri mampu memahami bahwa aneka pertarungan pikiran dan perasaan mampu kita kendalikan. Menurut kalian, mungkin nggak, hal itu terjadi? Well, setiap jawaban dan makna kukembalikan pada pembaca kalian saja ya, biar fair menurut pemikiran masing-maisng
Ibun Atha’Illah dalam Al Hikam :
“Ketika Allah Swt memberimu, berarti Dia membuatmu menyaksikan kebaikan-Nya; dan ketika Dia mencegahmu, berarti Dia membuatmu menyaksikan kekuasaanNya”
Sementara itu, dalam Q.S Al-Qur’an, Al – Insyirah ayat 8;
“Dan hanya kepada Tuhanmulah engkau berharap.”
Menemukan ayat yang pasti maknanya, serta penggalan kalimat Ibnu Atha’Illah tersebut, memberikan pencerahan yang semakin jelas, bahwa ketika apapun yang kuharapkan pada makhluk, atau pada segala logika dan rasaku, hanya membuat emosi itu kembali muncul dalam bentuk kekecewaan, marah atau bersedih. Karenanya, lakukan saja yang terbaik menurut versi masing-masing, dan biarkan Allah Swt yang menentukan hasil.
Hmm, semudah itu sebenarnya ya, andaikan kita melihat setiap ketidaknyamanan dengan pemikiran yang lebih jernih dan perasaan yang lebih terolah. Begitupun dengan tulisan ini. Semudah itu, setiap kalimat kurunutkan dalam barisan-barisan kata. Tapi percayalah kawan, aku berproses, kamu pun sama, mereka pun demikian. Tidak ada yang salah dengan segala pemahaman kita, selama kita mampu membawanya kepada pemahaman yang lebih baik, untuk kebaikan perasaan, pikiran, dan tindakan kita. Selama kita masih diberiNya kemampuan untuk berikhtiar, jalankan saja peran di bumi ini dengan kesungguhan. Semoga….kita tak lelah mengasuh kedewasaan dengan sebaik-baiknya cara.
Jika Harapan tak sesuai kenyataan.
Hasil akhirya adalah: Bersabar.
Mau kexewa, marah atau menyalahkan tidak akan merubah apapun.
Walau, ubtuk sesaat, kita boleh kecewa. Setelah itu, lupakan dan mulai berusaha lagi.
Itu pandangan saya saat ini.
Salam.
Pembahasan yang sangat menarik harapan tak sesuai dengan kenyataan pemikiran yang sangat bagus jadi menambah wawasan bagi saya