Melewati 1 bulan penuh tantangan diantara 11 bulan lainnya, tentu bagi sebagian orang bukanlan sesuatu yang harus diberatkan. Sebuah tantangan itu bisa menjadi sebuah kenikmatan jika kita sendiri mampu melihatnya dari sudut yang lain. Tapi sebagai manusia biasa, tidak bisa dipungkiri kalau akhirnya ramadhan seolah menjadi bulan yang hanya diisi oleh sebuah kebiasaan. Menyajikan berbagai makanan ala ramadhan seperti kolak, manisan kurma hingga ketupat lebaran. Tak hanya itu, tradisi mudik yang terjadi seminggu sebelum hari raya, tentu akan menjadi pemberitaan yang tak henti-hentinya di media cetak atau elektronik, bahkan social media.
Selain kebiasaan dan tradisi yang menemani langkah ramadhan tersebut, hati kita pun bisa saja terbawa pada suasana yang tak biasa. Namun alangkah lebih baik jika ramadhan membawa hati, rasa dan pikiran kita ke arah lebih baik, pada rasa ikhlas dan rasa syukur yang tak henti, karena yang terpenting, kita masih diberi kesempatan untuk melewati ramadhan kali ini dengan segala kekurangannya. Lalu, apa jadinya jika ramadhan tak memberikan hasil apa-apa untuk kita, selain lapar dan dahaga?
Ah tentu… saya tak menilai bahwa ramadhan ini telah saya lewati dengan baik dan khusyu. Dari waktu yang sekejap ini, dan diantara sekian banyak waktu yang telah saya isi dengan kekhilafan, tak mungkin dalam waktu 1 bulan lantas saya langsung kembali menjadi fitrah dan pribadi yang bersih. Jika saja boleh meminta, seandainya setiap bulan adalah ramadhan, tentu setiap waktu itu pula akan menjadi sebuah rem dalam ikhtiar saya menjalani hidup. Pertanyaannya, apakah saya mampu menjalaninya jika hal tersebut benar-benar ada? Lillahita’ala….
Ramadhan kali ini banyak memberikan pembelajaran, di mana saya seperti diarahkan untuk memasuki fase selanjutnya di usia saat ini. Usia yang banyak orang bilang sedang dalam masa yang penuh antusias tinggi, keinginan dan aktivitas yang ingin selalu dicapai. Namun, di sisi lain, ramadhan kali ini juga banyak memberi kenikmatan untuk saya pribadi dan keluarga, Alhamdulillah ya Allah. Nikmat mana yang mesti hamba dustakan?
Jika saja ada yang harus dikeluhkan atas kehendak-NYA, rasanya tak pantas untuk saya saat ini mengucapkannya. Jika saja harus menyedihkan sebuah rasa karena sesuatu hal, sudah sepantasnya saya menerima dengan ikhlas, membuatnya menjadi sesuatu yang menggembirakan seraya mengiringinya dengan sebuah doa. Jika saja segala sesuatunya menjadi tak sesuai dengan harapan saya saat ini, sebaiknya saya kembali intropeksi diri dan cukup menyerahkan segala sesuatunya pada Allah Swt. Selama Allah Swt memberikan nafas dalam jiwa ini, mengapa saya harus ragu untuk menciptakan kebahagiaan yang sudah jelas ada di depan mata. Cukupkanlah hati ini dengan penuh syukur dan keikhlasan, Ya Allah. Aamiin. “Aku senang, Aku bahagia”
– From Bandung in Love –
Lidya - Mama Cal-Vin says
Suamiku bilang kebahagiaan itu kita sendiri yang menciptakan jangan tergantung apapun apalagi orang lain. aku juga sedang belajar begitu 🙂
Nathalia Diana Pitaloka says
bacanya bikin hati adem mak 🙂
puteriamirillis says
iya suamiku juga bilang begitu. Bersyukur itu utama, tapi itu ya mbak, terkadang masih ada jeda2 ga bersyukur di hati yang sesungguhnya membuat hati kita sakit sebenarnya. Salam ya mba…
Insan Robbani says
Kami sekeluarhga mengucapkan
“Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1434 H”.
Mohon maaf lahir dan bathin
Taqabbalallahu minna waminkum
Santi Dewi says
Kebahagiaan hadir apabila hati kita selalu bersyukur
Lisa Tjut Ali says
iya mbak kebahagiaan itu memang mesti di ciptakan dan di pupuk bukannya dicari, soalnya kebahagian ga hilang jadi ga perlu di cari tp kita yang membinanya