Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana, dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikannya abu. @SapardiDjoko_id
Begitulah ketika kita dihadapkan pada kondisi sedang jatuh cinta, atau merasakan cinta yang lebih dari biasanya. Kita akan menjadi sangat manis, sangat menyanjung, bahkan kerap kali buta pada setiap cacat yang ada. Ah, cinta… kata orang, berjuta rasanya. Bahkan jika ada kata yang dapat mewakilinya, maka “Aku akan mencintaimu tanpa syarat”.
Pernahkah kalian berada dalam kondisi seperti ini? Merasakan bahagia karena mencinta? Ah, saya yakin semua pernah mengalaminya. Atas dasar cinta, kita akan berusaha menjadi makhluk terbaik bagi orang lain. Biasanya, dalam kondisi ini kita ingin lebih banyak melakukan sesuatu, ingin lebih banyak memberi sesuatu, terutama soal rasa, sikap dan perhatian. Maka dari itu, nggak heran kalau kita menyebut kondisi ini sebuah kondisi “Unconditional Love”, sebuah kondisi perasaan mencinta tanpa syarat.
Sebagai manusia, ada kalanya kita merasa bahwa apa yang kita lakukan sudah sesuai porsinya. Cukuplah dengan menunjukkan rasa cinta, dan memperlakukannya secara baik, maka sudah dipastikan “yes I’m on unconditional love”. Sayangnya, sebagian dari kita belum menyadari sepenuhnya, apakah kita benar-benar berada dalam kondisi tersebut, atau hanya sebatas cinta tanpa syarat yang justru memenuhinya dengan banyak syarat. Bukankah unconditional love adalah cinta tanpa syarat? Lalu, apakah kita benar-benar pernah dan sanggup berada dalam kondisi seperti itu?
Begini…
Saya pernah bertanya pada sebagian teman, apakah kamu memilih mencintai atau dicintai. Luarbiasa, 75% jawabannya adalah ingin dicintai. Dan jawaban tersebut datang lebih banyak dari perempuan. Apakah mungkin karena perempuan terbawa dengan sikap manja dan kelembutannya, sehingga baginya… dicintai menjadi hal yang paling istimewa dalam hidupnya? Ya, saya nggak mau munafik. Siapa sih, yang nggak mau dicintai dengan sungguh-sungguh? Namun, ketika kita berbicara tentang unconditional love, tentu di dalamnya sudah tak ada lagi siapa kita, apakah laki-laki atau perempuan. Dan ketika kita ingin berada dalam kondisi tersebut, maka yang harus dilakukan adalah becoming love giver. Ah, teori aja, Mir. Mungkin benar, karena pada kenyataannya saya sendiri pun mulai menyadari bahwa untuk berada dalam kondisi tersebut memanglah tidak mudah.
Contoh kasus, saya adalah seorang Mama dari dua anak. Katanya, cinta ibu tak bersyarat, benar! Tapi sebagai manusia, saya suka khilaf dan menempatkan cinta ini dengan banyak syarat. “Nak, mama sayang sama kalian, tapi… “, “Suamiku, aku sayang sama kamu, tapi…” Nah, ini yang saya maksud bahwa kita tidak sepenuhnya bisa berada dalam kondisi unconditional love. Selalu ada syarat yang kita ajukan, bahkan dalam kondisi sedang jatuh cinta pun, selalu saja ada cinta bersyarat. Entahlah, apakah ada makhluk yang sanggup berada dalam kondisi seperti ini?
Dalam kehidupan, kita mengenal cinta. Cinta pada Rabb, cinta pada orangtua, pasangan hidup, anak, saudara dan lainnya. Semua cinta tersebut memiliki porsi masing-masing sesuai dengan kebutuhan. Namun ketika cinta yang kita pelihara telah menuntut banyak syarat, maka pahamilah… bahwa kita tidak sedang benar-benar mencinta, melainkan hanya ingin diberi lebih banyak. Bukankah “the more you give, the more you get?”. Tidak ada yangbisa disalahkan dengan hal tersebut, manusia! Tapi dalam hal ini, saya sendiri tidak ingin terus menengadahkan wajah ini pada apa yang saya mau, karena meskipun sulit, ini adalah cara saya berproses menuju titik “unconditional love”. #ThankYouILearn
informasi yg menarik Mak..!,
baru cinta yg diturunkan ke bumi..semua menjadi terasa indah, bagaimana dgn yg lain ya Mak..! 🙂
Sejatinya, semua cinta akan terasa selalu indah ya, mak
Banyak yg terlalu pintar bicara bhw cintanya tanpa syarat kenyataannya selalu bersyarat….
Manusia ya, neng 🙂
Beneeeeer… Mak, terlebih pada anak. Pernah keceplosan, kalau mau lebih disayang, kamu harus…. hiks…
Saya Harus lebih instropeksi lagi deh mak.
Huhuhuhu… terlalu sering (dan banyak) cinta ber-syarat ketentuan berlaku.
Nggak apa-apa mak, kita hidup berproses terus, Insya Allah yes 🙂
so much to learn. Thanks for sharing mak 🙂
Sama-sama mak. Terima kasih sudah berkunjung
ya..ya..teori terkadang ga sesuai sama kenyataan ya mak
makasih ya dah berbagi..
dan lagi2 berbicara tentang cinta..
pengennya ada timbal balik , ada mencintai dan dicintai..
namun yg di pake lelaki/suami adalah LOGIKA
perempuan dengan emosi n perasaannya yg terkadang menuntut di cintai
namun kenyataannya lempeng2 ajah yang kita cintainya
hahhaaa…
#curcol
Wkwkwkw, sini mak Nchie, kita ngopi cantik terus curcol lagi 😀
Cinta tanpa syarat.?.. hemmm mgkn hanya Allah yg cintanya tanpa syarat kpd hamba-hambanya…tak peduli dia kafir, kufur atau beriman semua diberinya kasih sayang, nafas, kehidupan dan penghidupan…..klo kita ? .. msh sering egois dan selalu menuntut sepertinya mak…. mgkn ada tp 1 bading 1000 ….hehe
Benar mak, oleh karenanya, mencintailah karena Allah 🙂
hmmm memang susah untuk memberi cinta tanpa syarat
kenyataannya cinta tanpa syarat itu memang berat. Gak semudah mengucapkan. Makanya, saya suka lirik lagu Tulus “Jangan Cintai Aku Apa Adanya” 😀
Eaaaa… okelah mak chie 😀
apapun masalahnya,kita harus kuat
hehe SMANGAT
Yes bener banget. Makasih sudah berkunjung ya
Koalisi tanpa syarat ternyata masih bisa diotak-atik apalagi cinta ya Jeng.
Oleh karena itu selayaknya ditumbuh suburkan mencintai dan membenci karena Allah.
Ini jelas lebih aman dan nyaman.
Terima kasih renungannya yang sangat bermanfat
Salam hangat dari Surabaya
Sepakat, Pakde. makasih ya