“Apakah pernah membayangkan? Kelak saat kita tua nanti, anak-anaklah yang akan kembali merawat kita. Namun, jika selama anak-anak bertumbuh, tapi tak pernah hadir untuk mereka, apakah mungkin anak-anak akan sepenuhnya mengingat orangtuanya untuk kembali memberi perhatian? Apakah hal tersebut cukup adil bagi anak-anak?”
Boleh jadi, sebagian akan menjawab bahwa : “Ya, namanya anak, harus berbakti pada orangtua. Bagaimanapun kondisi orangtuanya.”
Saya sepaham dengan budaya bahwa anak-anak sejatinya berbakti pada kedua orangtuanya. Namun pada faktanya, banyak di sekitar kita, nggak sedikit orangtua lalai dalam memenuhi kebutuhan anak selama mereka bertumbuh. Apalagi ketika pada akhirnya mereka berpisah, maka yang paling terdampak pertama kali, tentu anak-anak.
Lagi-lagi, saya membagikan sebuah cerita ini dari pengalaman seorang Ibu tunggal, di mana kenyataan mengharuskan ia merawat anak-anaknya sendiri, bahkan dengan segala daya upaya mencoba mengajak co-parenting dengan mantannya, pada praktiknya itu memang nggak mudah untuk dijalankan dengan berbagai alasan.
Sebut saja Mawar, sejak menjadi seorang ibu tunggal, ia mendampingi anak-anaknya dengan kemampuan yang ia miliki. Ia mencari nafkah, ia juga yang mendampingi anak-anaknya bertumbuh dengan segala cinta kasih dan kebaikan yang ia miliki. Bahkan meski hatinya teramat luka karena sang mantan mengkhianatinya dengan perempuan lain, ia tetap bersikap baik. Ia tak pernah menceritakan hal buruk kepada anak-anaknya tentang bagaimana luka yang telah ditancapkan sang mantan suami kepadanya. Ia hanya berpikir dan fokus bagaimana anak-anaknya tidak kekurangan cinta kasih, dan agar tak memiliki rasa benci pada ayahnya.
Bertahun-tahun ia melakukan hal yang menurutnya cukup baik, yang mampu dijalankan dalam kehidupannya. Bahkan ia tidak menuntut biaya dari sang mantan suami, karena ia sadar, bahwa rejekinya bersumber dari Sang Maha Kuasa. “Ngasih, ya syukur. Enggak ya sudah.” Hanya saja, ia memang selalu berharap bahwa sang mantan memberi dalam bentuk perhatian, waktu dan pengasuhan dengan cara membangun komunikasi terus dengan anak-anak.
Sayangnya, apa yang ia harapkan dari Sang mantan hanyalah kecewa dan kecewa terus. Ia kerap disalahkan atas pola asuh anak-anak yang menurutnya tak sesuai. Well, dalam hal ini mana ada manusia yang sempurna. Tapi dari pemahaman saya, Sang ibu tetap jauh lebih baik karena ia tak pernah menyakiti anak-anak dengan sebuah pengkhiatan. Karena hal tersebut adalah hal fatal yang tidak bisa dibela dengan alasan apapun. Tapi mana ada sih, manusia juga yang mau disalahkan. Semakin dirinya tahu bahwa ia bersalah, maka ia dengan mudah kerap melempar kesalahan kepada orang lain.
Anak-anak yang terluka ini semakin bertumbuh. Mereka semakin tahu dan mengerti kondisi yang sebenarnya. Mereka kerap sampaikan kepada Sang ibu bagaimana Ayahnya memberi respon atas hal-hal yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak-anak. Kalimat-kalimat tentang Ibunya pun, kerap kali disampaikan pada anak-anak. Tentu saja, Sang ibu hanya bisa diam, karena ia tahu bahwa ia tak perlu merespon hal-hal yang belum tentu benar beritanya. Ia tetap bersikap baik dengan menenangkan anak-anak, bahwa bagaimanapun dan atau apapun yang disampaikan ayahnya, perlu dilihat dari sisi yang baik. Dan meyakinkan mereka, bahwa Sang Ibu selalu mencintai anak-anaknya melebihi apapun.
Tidak sekali-dua kali anak-anak mengeluhkan sang ayah yang tak pernah hadir, bahkan dalam hari-hari istimewa anak-anak, atau bagaimana mereka merengek minta uang jajan, dan seringkali dijawab dengan “Sabar.” Faktanya, jika sang ayah memang tidak memiliki pekerjaan, anak-anak bisa jadi akan mengerti. Tapi dengan kondisi yang mereka tahu, rasanya jawaban “sabar” hanyalah jawaban hambar yang tak lagi membuat anak-anak mengerti. Soal waktu? Come on, semua manusia punya 24 jam sehari. Dan anak-anak tentu HARUS menjadi prioritas melebihi apapun. Sayangnya, berbagai alasan bisa saja dibuat-buat.
Kondisi ini pun berlangsung dari tahun ke tahun, hingga anak-anak tersebut mulai terbiasa dengan sikap ayahnya yang seperti itu. Dari pemahaman saya kembali, kebiasaan yang terbangun ini bukan salah anak-anak. Bagaimanapun peran kedua orangtua diperlukan dalam mengayomi anak-anak. Lucunya, Sanga ayah – tanpa ia sadari, masih berangapan bahwa selama ini ia telah memberikan segala kebutuhan anak-anak. Padahal ya, 50:50 sih, kalau soal nafkah. Sang istri bekerja terus untuk memenuhi kebutuhan anak-anaknya juga selama ini. Pertanyaannya, momen apa yang sudah diciptakan bersama anak-anak, hingga anak-anak layak memberi label bahwa Ayahnya memang Ayah hebat bagi mereka.
Singkat cerita, Sang Ibu atas ijin Allah kembali dipertemukan dengan sosok laki-laki yang mencintai (tidak hanya dirinya), namun juga mencintai anak-anak dari perempuan ini. Sikap Ayah tirinya baik terhadap anak-anak. Ia menaruh perhatian dan peduli dengan anak-anaknya. Oke, meski Sang Ayah tiri ini hadir belum lama di kehidupan anak-anaknya, dan kenyataannya anak-anak merasakan sosok tersebut memberikan kebutuhan anak-anak, bukankah itu baik? Setidaknya, dengan melihat kebahagian ibunya bersama pasangan barunya, anak-anak pun turut berbahagia. Dan ITU SANGAT BAIK untuk psikolog anak-anak. Jangan malah disindir-sindir, jangan malah anak-anak dibuat jadi nggak enak hati karena dianggap melupakan ayah kandungnya. Coba berkaca, ketika ia memilh perempuan lain dan meninggalkan anak-anak, lalu kemudian menikahi perempuan itu, apakah Ibu dari anak-anak ini bersikap tak baik? Faktanya, Sang Ibu malah menaruh kasih sayang pada anak tiri bawaan istri barunya. Ia tak merasa posisinya terebut dengan hadirnya ibu tiri bagi anak-anak. Ya karena ia tahu, bahwa dirinya tetap Ibu bagi anak-anaknya. Dirinyalah yang memperjuangkan anak-anak sejak ditinggalkan.
Dari cerita ini, mungkin sebagain teman-teman memiliki opini masing-masing. Silakan saja. Yang ingin saya sampaikan benang merah dari kisah ini adalah : terkhusus bagi seorang ayah di manapun yang dengan jelas telah melukai anak-anak dengan pengkhianatan, maka bersikaplah sebagaimana laki-laki yang bertanggung jawab. Minta maaf pada anak-anak menjadi hal utama. Kedua, belajarlah mengenal anak-anak tanpa mengedepankan ego status “Saya kan, bapaknya,” tapi selama anak-anak bertumbuh, masih bisa dihitung jari dalam berkomunikasi atau menemui mereka. Ketiga, jika Sang mantan istri menikah kembali, dan suami barunya sayang dan perhatian pada anak-anak, upayakan untuk intropeksi diri. Anak-anak tahu siapa Ayah kandungnya, tapi bagi anak-anak, yang terpenting adalah siapa yang hadir bersama mereka saat ini. Apalagi selama perjalanan pernikahannya dulu juga, hubungan dengan anak-anak tidak terlalu dekat. Alasan kerja, sibuk, apapun yang anak-anak tak seharusnya pahami, jangan dipaksakan untuk anak-anak memahaminya. Terlebih lagi, memaksakan segala pikiran, kehendak sendiri pada anak-anak. Ibaratnya, selama kamu pergi, kamu kemana saja? Lalu, sekarang mencoba membuat anak-anak untuk selalu mengikuti kehendaknya? Well, sekali lagi, anak-anak itu bertumbuh, Mereka akan menyimpulkan sendiri pikirannya. Dan melakukan apa yang ingin mereka lakukan. Terakhir, upayakan juga tidak malah membalikkan cerita-cerita atau menyalahkan kondisi anak-anak pada sang mantan istri. Laki-laki baik yang bertanggung jawab adalah laki-laki yang tahu bahwa dirinya salah, dan berupaya memperbaikinya.
Pertanyaannya, apakah kamu cukup gentle man mengakui kesalahan dan ingin memperbaikinya? Atau hanya bolak-balik mencari celah untuk membalikkan kesalahan pada orang lain, dan tetap merasa benar?