“Nak, Moma nggak menyangka, rasanya secepat ini melihat kenyataan kalian akan beranjak pergi dengan Langkah masing-masing.”
Saya sedang menerima segala emosi yang hadir atas kondisi saat ini. Fakta bahwa kedua anak saya kini telah menentukan pilihan jalannya masing-masing membuat saya tersadar, anak-anak memang titipan yang pada masanya perlu kita relakan pergi.
Sejak putri pertama saya menentukan pilihannya untuk meneruskan jenjang SMK yang mengharuskan terpisah jarak, kemudian melanjutkan pilihan kuliah di kota kelahirannya, saya menyadari si sulung tak bersama lagi dengan saya sehari-harinya, ada rasa rindu dan sedih setiap kali saya mengingatnya. Semua saya tuangkan dalam doa dan pengharapan kepada Ilahi, agar senantiasa si sulung selalu dalam ridho dan penjagaanNYA. Dan yang masih membuat saya cukup bisa tenang menjalani hari-hari tanpa si kakak, karena adanya si bungsu yang masih bersama saya. Saya masih memiliki si bungsu yang menemani hari-hari di rumah.
Ternyata, lain harapan, lain fakta. Ketika pada akhirnya si bungsu pun memasuki jenjang SMA. Setelah lulus SMP kemarin, cita-citanya adalah meneruskan pendidikan SMA di Pondok Pesantren. Saya sempat ragu dan kerap kali menanyakan kesiapan dan kesanggupan atas pilihannya itu. Membayangkan sehari-hari dengan saya, perilakunya masih saja seperti anak kecil. Hingga muncul berbagai pertanyaan :
“Bisa nggak ya, anakku disiplin di pondok nanti?”
“Nanti Abang bisa nyuci dan beres-beres baju sendiri nggak, ya?”
“Abang kan, makannya banyak, sehari bisa 4x, nanti kalau di pondok makanannya terbatas, dan dia merasa lapar malam-malam, gimana, ya?
Dan banyak pertanyaan-pertanyaan kekhawatiran dalam benak saya, yang membuat saya ragu dengan keputusan ini. Sementara, Zahran memang sudah bertekad kuat setiap kali ditanya, dan jawabannya “aku siap, Ma,”
Tiba di hari Zahran memasuki Pondok.
Sedikit cerita, proses menentukan Pondok mana yang tepat ini, alhamdulillah berjalan lancar dan cukup singkat. Namanya jodoh, dengan kuasa Allah, saya menemukan pondok yang memang dikelola oleh teman baik. Tanpa survei sebelumnya, saya langsung menentukan pondok tersebut, karena saya cukup yakin dengan kurikulum dan pemahaman pondok tersebut dalam ilmu keagamaannya.
Semua persiapan saya lakukan sendiri bersama Zahran tentunya. Mulai dari mempersiapkan kebutuhannya, mempersiapkan dokumen-dokumen, dan rencana pengantaran ke Pondok pada tanggal 3 Juli lalu. Tentu saja, mumpung kakaknya juga sedang libur kuliah, Zahran cukup senang diantar oleh kami berdua, plus sosok yang mendampingi kami. Anyway, terima kasih, ya, sudah mau menemani kami perjalanan PP Bogor-Cirebon-Bogor.
Seharian kami menemani Zahran di Pondok. Mulai dari mengenal para pengurus Pondok, berkenalan dengan Abuya dan Ibu (pemilik pondok pesantren), lalu memaksimalkan bercengkrama dengan Zahran, sebelum saya benar-benar melepasnya. So far, kami tetap bercanda ria, tersenyum, dan berakhir dengan mengantarnya ke kamar. Setelah inilah, momen emosional saya hadir.
1×24 jam setelah mengantar Zahran ke pondok, saya melihat kamar yang ditempati Zahran di rumah, kosong, saya tidak lagi bergegas atau sambil sedikit teriak untuk membangunkannya sholat subuh, nggak ada yang merengek minta go-food untuk jajan. Dan dari sinilah air mata saya keluar setiap hari, selama hampir seminggu. Setiap ingat, hati ini meringis, dan terus-menerus menangis. Sampai Kakak Vinka berulang kali berupaya menenangkan saya. Saya benar-benar mellow dan membiarkan diri saya larut dalam momen ini, saya nggak peduli kalau terkesan cengeng. Faktanya, saya sedang tak kuasa dengan emosi yang hadir ini.
Buibu, boleh jadi banyak dari kita (para ibu), juga mengalami momen yang sama. Betapa tak kuasanya menerima kenyataan harus berpisah jarak dan waktu dengan anak yang lahir dari rahim kita sendiri. Betapa waktu terasa cepat berlalu, dan berharap momen-momen bersama anak dapat tetap ada dan bisa diulang. Nyatanya, waktu berjalan ke depan, nggak mungkin untuk dimundurkan ke belakang. Ada masa di mana (suatu saat) kita akan melepaskan anak-anak dengan pilihannya masing-masing, dengan rentang waktu yang berbeda-beda.
Saya adalah satu diantara yang mengalami hal ini lebih cepat menurut versi saya. Dan yang bisa saya lakukan adalah menerima dengan keluasan hati, melangitkan doa-doa lebih banyak dan lebih intens untuk kedua anak saya, menjalani hari-hari dengan produktivias supaya nggak melow-melow terus. Dan tentunya, terus melakukan afirmasi yang positif baik bagi diri saya maupun untuk kedua anak saya.
Ketika tiba saatnya melepas anak-anak, ketika itu juga ujian seorang Ibu untuk berani merelakan. Berani menerima kenyataan bahwa anak-anak adalah titipan dan amanah. Maka, jika boleh saya berbagi pengingat, bila saat ini ada diantara teman-teman (khususnya para Ibu), yang masih diberi kesempatan untuk mendampingi anak-anak secara langsung, maksimalkanlah segala waktu yang ada dengan momen-momen indah. Penuhi jiwa anak-anak dengan cinta kasih dan kebersamaan yang hangat. Karena suatu saat pun, boleh jadi akan tersadar, anak-anak sudah bukan anak kecil lagi, dan mereka akan menentukan jalannya masing-masing. Terkhusus untuk para Ayah. Saya sangat respect dengan mereka yang tetap hadir bagi anak-anak di tengah kesibukannya, yang tetap mengutamakan kebutuhan anak-anak tanpa drama ini itu atau merasa paling sibuk sedunia. Faktanya, anak-anak akan merasakan langsung bagaimana dampak kehadiran ayah ibunya. Jika pun satu ruang tak terpenuhi karena perspisahan, saya percaya Allah Swt akan memberikan kekuatan bagi para Ibu dalam melewati perjalannya, meski ia harus berdiri di atas pijakannya sendiri.
Diah says
Much love for you, mbak. Di balik kesedihan ada kebahagiaan insya Alloh. Saya belum sampai tahap ini tapi bisa merasakan mellow-nya.
Si bungsu saya tahun ini naik ke TK B. Berhubung sekolahnya amat sangat dekat, dia ga mau lagi diantar dan dijemput. Di hari pertama masuk sekolah, saya nekat menjemput. Sampai di sana, saya ‘diusir’. “Aku ga usah dijemput. Ibu pulang!”
Ya Alloh.. hati rasanya mak jleb. Kok saya kayak sudah ga dibutuhkan?
Tapi ya itulah, perkembangannya. Memang harus begitu ya, mbak. Anak-anak juga punya dunia sendiri yang harus mereka jelajahi sendiri.
Semoga anak-anak kita selamat dunia-akhirat. Aaamiiin.
Lailytri Indiah says
Yesss sama kayak aku..lg nyiapin mental buat jauhan ama anak krn harus kuliah di kota lain..meskipun blm kejadian krn kuliah msih dimulai bln agust..tp nyeseknya udh berasa dri skarang. Bener banget klo dibilang anak cuma titipan amanah yg kita musti ikhlas ngelepas saat mereka udh punya jalan nya sendiri..cuman bisa banyakin tirakat doa buat anak” smg selalu dlm penjagaan perlindungan Allah swt..aamiien
Peluk jauh buat bu ibu yg dg rela ikhlas ngelepas anak sedari dini buat nempuh pendidikan di luar kota..you are such a tough mom 🤗🤗