Pertanyaan ini mampir di salah satu kolom komentar di akun TikTok saya. Dan di tulisan kali ini saya coba membagikan pengalaman dari apa yang saya alami, semoga saja bisa sedikit memberikan pencerahan untuk teman-teman yang juga sedang butuh support system, atau mencari cara bagaimana menemukan support system dalam proses penyembuhan luka.
“Tidak ada luka yang tak bisa sembuh, tetapi jika kamu menyerah, ia akan menjadi luka yang abadi.”
Seperti yang saya tuliskan di postingan sebelumnya (baca di sini), saya atau boleh jadi siapapun yang pernah berhadapan dengan luka, dalam prosesnya dengan segala kesedihan, kemarahan, overthinking, insecure yang selalu naik turun, seolah memberi sinyal bahwa luka batin yang dialami terasa begitu berat, bahkan seolah sulit untuk disembuhkan. Saya tuliskan ini karena saya pun pernah mengalaminya. Dan sebagai manusia biasa, saya akui, bahwa kadangkala saya masih suka overthinking, dan ini terasa amat menganggu. Capek! Beruntungnya, saya masih waras memilih untuk nggak menyerah. Terlebih lagi ketika saya sadar bahwa saya memiliki support system yang luarbiasa hebat menemani proses penyembuhan setiap luka.
Lalu ketika mendapatkan pertanyaan di atas, saya kembali tertegun. Boleh jadi, ternyata ada orang-orang yang belum seberuntung saya dalam mendapatkan support system. Saya belum bertanya detail kenapa (sebut saja akun itu inisial “H”) yang mengklaim dirinya nggak nemu support system. Tapi it’s okelah, mari fokus saja bagaimana saya sebagai sesama perempuan (ibu tunggal) bisa menjadi support system-nya, meski secara daring di sebuah platform.
Saya membaca sebuah artikel di google, bahwa support system sebenarnya sudah kita miliki sejak kita lahir ke dunia ini, yaitu orangtua sebagai pemberinya. Kita disambut, diterima, dirawat, diberi kasih sayang, dipenuhi segala kebutuhannya semaksimal mungkin. Tentulah dari hal tersebut, harapannya menjadi bekal bahwa semakin beranjak dewasa, dalam keadaan apapun, kita telah sadar bahwa kita memilik support system yang melekat. Akan tetapi, saya juga mencoba memahami, jika dalam perjalanannya, ada sebagian orang merasa bahwa mereka telah kehilangan support system. Hal ini dikuatkan ketika seseorang berada dalam kondisi yang tidak baik (terpuruk). Ia akan merasa bahwa seolah dirinya berjuang seorang diri. Lalu, bagaimana sih, agar saya atau kamu bisa mendapatkan support system (lagi) dan bisa membantu proses penyembuhan luka batin? Semoga beberapa hal ini bisa menjawab dan memberi pencerahan.
Membangun Support System Bagi Ibu Tunggal
Pertama, Diri Sendiri
Dengan bekal support system sejak lahir, maka tidak ada salahnya kalau seseorang sebaiknya kembali pada dirinya terlebih dulu. Mengakui bahwa dalam berbagai perjalanan kehidupan ini, ada hal-hal yang perlu kita terima, meski dalam bentuk yang tak sesuai harapan. Dalam hal ini, boleh jadi kita diharapkan agar memperbaiki mindset. Terutama terkait segala ekspektasi yang dibebankan pada orang lain. Juga termasuk mindset soal self esteem (nilai/ keberhargaan diri). Jika seseorang pernah gagal dalam rumah tangga, pekerjaan, atau bisnis dan lain-lain, maka sejatinya kegagalan tersebut nggak perlu mengubah nilai diri. Yang gagal adalah ‘masa di saat itu,’ yang gagal adalah (mungkin) hasilnya. Tetapi sebagai pribadi yang telah menjalankan prosesnya, rasanya kurang fair bagi diri sendiri jika menyalahkan dirinya sendiri. Toh, boleh jadi seseorang telah melakukan berbagai upaya secara maksimal. Maka sebenarnya, dia nggak gagal secara pribadi yang memilik nilai keberhargaan. Bangun lagi support system diri sendiri, karena kamu istimewa dengan versi terbaikmu.
Kedua, Keluarga
Seperti yang saya tuliskan di atas, keluarga adalah support system utama dalam perjalanan kehidupan seseorang. Namun, dengan berjalannya waktu, bersama kejadian-kejadian, hal tersebut mulai nampak menghilang karena berkurangnya kebersamaan, atau terpisahkan jarak. Belum lagi (mungkin) ada kejadian dari pola asuh keluarga yang membuat seseorang memiliki trauma. Dan saya ingat, ketika saya mengalami masa-masa terpuruk saat itu, saya hanya ingin pulang pada orangtua saya, pada Ibu saya. Karena beliaulah yang mampu menerima saya tanpa penghakiman. Ini bisa beda cerita kalau sekiranya hubungan dengan keluarga sudah nggak harmonis, atau (misal), kedua orangtua sudah tidak ada. Semoga saja, ada kakak, adik, atau sanak saudara yang tetap bisa menerima kita dalam keadaan apapun. Perjalanan pulang pada mereka yang mencintai dan menyayangi kita, adalah langkah yang sebaiknya tidak diabaikan. Nggak perlu gengsi kalau terlihat rapuh atau nampak gagal dalam sebuah fase. Karena dengan begitu, kamu tidak akan merasa sendiri.
Ketiga, Sahabat/ Teman Dekat
Saya percaya, tidak ada perempuan yang tidak memiliki sahabat. Maka peran sahabat menjadi penting sebagai support system. Sahabatlah yang mengerti kamu, sahabat pula yang bisa mengusap air mata tanpa perlu memberikan label apapun ketika kita sedang terpuruk, sahabat pula yang bisa memberikan telunjuknya saat memberi arah jalan atau sekadar toel hidung kita dan ngomel langsung di depan mata demi membantu kita dalam memaknai sesuatu. Pertanyaannya, apakah kamu sudah memiliki sahabat itu, atau sudah menjadi sahabat yang seperti itu? Jika sudah, rawatlah persahabat kalian dengan cinta kasih.
Keempat, Lingkungan Pekerjaan
Ketika seseorang sedang dalam fase yang kurang baik secara emosional dan kondisi, maka bisa jadi hal tersebut memengaruhi aspek lainnya, termasuk pekerjaan. Rekan-rekan di kantor pun akan mulai melihat gelagat seseorang tersebut. Hal ini mungkin saja memunculkan pertanyaan dan kekepoan. Maka, untuk mendukung kelancaraan profesional pekerjaan, tidak ada salahnya untuk menyampaikan persoalan yang sedang dialami ke atasan. Sehingga harapannya, kamu atau suaoaoun yang sedang down tetap bisa dapat dukungan yang baik, yang positif, pekerjaan pun akan tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Kelima, Dukungan Komunitas
Di setiap diskusi, konten, atau tulisan yang saya buat, saya kerap kali menyebutkan sebuah komunitas yang menaungi para Ibu tunggal di dalamnya, yaitu komunitas Single Moms Indonesia. Di dalamnya berisi para Ibu Tunggal yang sama-sama kembali berjuang dari keterpurukan. Komunitas ini lebih fokus kepada pemberdayaan dan pengembangan diri, agar setiap Ibu Tunggal mampu menjalani hari-hari ke depannya dengan jauh lebih baik. Kamu bisa cek aneka kegiatannya di instagram @singlemomsindonesia. Selain itu, dukungan komunitas menjadi perlu agar setiap Ibu Tunggal bisa lebih fokus dengan apa yang bisa dikendalikan, serta tak hanya fokus dengan kesedihan. Semoga saja, kamu bisa menemukan sebuah komunitas yang membuatmu bisa mengembangkan potensi diri sesuai dengan bidang masing-masing. Ciptakanlah kebahagian sesuai versi terbaikmu.
Dear Single Moms,
Banyak hal yang perlu kita hadapi dan lakukan dengan sendiri. Namun, boleh jadi banyak juga yang peduli dengan kita. Jadi, merasa sendiri itu nggak apa-apa, hanya saja, coba hindari rasa sepi dengan fokus pada apa-apa yang bisa dikendalikan. Dan saya percaya di kehidupan ini, Allah Swt senantiasa mengirimkan orang-orang baik untuk menemani setiap langkah kita. Selaraskan segala pikiran, ucapan, perasaan, dan perilaku, sehingga kita sadar kalau peran saat ini adalah peran luarbiasa, karena aku, kamu, atau kalian adalah orang-orang terpilih untuk melewatinya.
Blog Olahraga Indonesia says
Menjadi seorang ibu tunggal memang kudu hati2 banget ya Mbak. Kondis mentalnya benar harus terjaga, jangan sampai terganggu sampai anak pun menjadi korban.