“Calling semua perempuan yang sampai saat ini masih suka bucin.”
“Yha, hari gini kok, masih bucin?”
“Eits, sebentar, coba kita sama-sama refleksikan lagi, bucin seperti apa yang dimaksud.”
Tulisan ini ada, karena terinspirasi dari tulisan Maureen (Founder Single Moms Indonesia), yang juga kawan baik saya beberapa waktu lalu. Tiba-tiba saya juga ingin menuangkan pengalaman dan pemahaman akan kebucinan ini menurut versi saya.
First, saya dan Maureen itu adalah sama-sama si Pisces yang dalam beberapa obrolan kami, kami mengakui bahwa di balik tangguhnya kami sebagai seorang single mom, kadangkala ada saja momen-momen dimana kami ini lebih peka soal perasaan. Selanjutnya, kami pun kerap kali menertawakan hal-hal yang berkaitan dengan kebucinan. Atau, dalam kisah tertentu, kami saling mengingatkan dan menguatkan agar tetap saling fokus dalam pemberdayaan perempuan. Secara, kami berdua juga sama-sama seorang perempuan yang punya tanggung jawab penuh pada ribuan perempuan yang kami berdayakan melalui komunitas kami masing-masing. Saya dengan Kumpulan Emak Blogger, dan Maureen dengan Single Moms Indonesia.
Perihal urusan percintaan, saya memilki kisah sendiri, yang kalau saya ingat-ingat, banyaknya bikin saya bucin. Ya, pada banyak kisah, boleh jadi seperti itu. Cinta bisa membuat seseorang jadi bucin, bahkan logika seolah terabaikan ketika menghadapi sitiuasi-situasi yang tidak menyenangkan. Apakah itu salah? Well, dalam pemahaman saya, ini bukan soal benar atau salah. Boleh jadi, ini adalah perkara emosi yang memang perlu diolah ketika kita sedang merasakan jatuh cinta atau mencintai seseorang.
Sudah 7 tahun sejak saya berstatus sebagai seorang single moms. Pernah dekat dengan seseorang? Pernah. Pernah main aplikasi kencan onlne? pernah. Ada yang berhasil? Enggak! Hahaha. Tuh, kan, saya kembali menertawakan diri sendiri. Kadang kalau diingat-ingat, di fase tertentu, saya juga ingin lho merasa dicintai lagi, disayang lagi oleh orang yang tepat. Melow ngga tuh? Kadang iya, kadang biasa saja. Saya berproses memaknai setiap fase yang saya alami.
Sampai kemudian saya pernah masuk dalam pemahaman, “Wis lah, nggak usah nyari-nyari lakik lagi, toh hidup sendiri rasanya jauh lebih menyenangkan. Nggak nikah lagi, ya nggak apa-apa. Malah bisa lebih fokus sama potensi diri sendiri, fokus sama anak-anak, fokus sama kerjaan, fokus sama hal-hal yang bisa saya ciptakan sesuai dengan yang saya mau. Nggak usah bucin-bucin lagi. Tetapi, nah ada tapinya ygy. Ternyata “Yo wis lah” saya itu sebatas pelarian. Saya sekadar denial dengan emosi “nggak apa-apa” itu. Hingga pada akhirnya, saya menyadari, saya sebenarnya butuh menerima segala sesuatunya dengan kesadaran. Bukan sebatas emosi pelarian, padahal sebenarnya saya masih ingin bucin dengan bijak. Whuik, bucin dengan bijak kaya mana itu.
Pertama, saya mulai mengelola pemahaman soal bucin. Karena bucin juga, bisa jadi sebuah emosi yang dititipkan oleh Yang Maha Kuasa. Bucin, yang dalam istilah gaul adalah “budak cinta,” memberi kesan bahwa seseorang yang terlalu larut dalam perasaannya, sehingga mengabaikan logika. Mau sampai kena KDRT, abuse verbal atau fisik, tetap saja tuh pasangan dikelonin dengan alasan anak atau apapun itu. Hingga sampai dirasa sudah sangat merugikan, barulah sebagian perempuan tersadar, dan berani mengambil langkah untuk melepaskan. Seperti kasus selebriti yang sempat ramai itu.
Awalnya, banyak kaum perempuan yang merasa terwakili oleh langkah si tokoh publik yang berani melapor. Dukungan penuh netizen Indonesia seolah menegaskan bahwa, tidak ada lagi ruang maaf untuk tindak KDRT. Lapor, dan si pelaku bisa dapat efek jera. Namun di luar dugaan, ternyata si selebriti memilh mencabut laporan dan memberi maaf pada si pelaku. Sontak, netizen Indonesia pun banyak yang kembali memberi komentar pedas akan langkah yang ditempuhnya. Wuis lah, begitulah kenyataannya. Sementara saya memilih untuk tidak berkomentar apapun. Karena hanya si selebriti itu sendiri yang punya alasannya. Saya mau bahas bucin dari sisi bagaimana saya bisa memaknai dan mengolah emosi cinta yang sampai saat ini saya butuhkan. Cieee, masih butuh cinta ternyata Mir. Iya, tentu. Karena genetik saya kuat dalam urusan cinta memang. Ehe!
Guru saya mengingatkan, bahwa “cinta adalah perbuatan.” Dan ketika ditanya apa artinya cinta, saya sendiri masih butuh memaknainya lebih dalam jika diungkapkan dalam sebuah kalimat. Sementara Mba Najwa Shihab pernah juga mengatakan kalau cinta itu ya cukup dirasakan. Dan dalam konteks filosofi, cinta merupakan sifat baik yang mewarisi semua kebaikan, perasaan belas kasih dan kasih sayang. Nah, menurut kamu sendiri, cinta apa sih?
Balik lagi menyoal kebucinan ygy.
Apapun makna cinta, saya percaya tiap-tiap dari kita punya perspektif masing-masing. Selama cinta itu masih bisa memberi ruang untuk saya atau kamu bisa berdaya dan mengembangkan diri ke arah lebih baik, maka upayakan cinta itu tetap ada dalam muaranya. Cinta pada diri sendiri tentunya, cinta pada anak dan keluarga, cinta pada sesama umat sebagai bentuk toleransi, cinta pada pekerjaan, dan hal baik lainnya. Namun jika cinta itu telah mengubah mindset dan kondisi seseorang menjadi terpedaya, maka tak ada salahnya berbenah. Kita bisa mengubah bucin dengan konsep mawas diri, mengolah rasa cinta, khusunya pada seseorang dengan lebih sadar. Sadar bahwa ketika kita mencintai, maka bisa jadi ada hal-hal yang kita titipkan sebagai ekspektasi pada orang lain itu, bisa tak sesuai dengan harapan. Sadar juga, bahwa ketika kita ingin dicintai, cinta yang kita dapatkan pun bukan sepenuhnya milik kita. Jadi apa yang perlu kita lakukan? Cintai dan terima cinta itu secukupnya.
Saya sedang berproses mencintai dan menerima cinta yang ada saat ini. Dan belajar dari pengalaman serta perjalanan cinta sampai detik ini, saya mencoba memaknainya secara sadar di setiap momennya. Saya belajar menerima apa yang hadir saat ini, detik ini, dengan sebaik-baiknya yang bisa saya lakukan. Karenanya, saya tidak perlu melabeli diri saya dengan kondsi trauma akan cinta. Karena saya percaya, kehidupan ini selalu menawarkan harapan untuk hal-hal baik, termasuk cinta. Saya masih membuka hati saya untuk dapat mencintai dan dicintai. Boleh jadi, saya akan kembali menjadi bucin, namun bucin secara sadar, diolah dan diseimbangkan. Kuncinya? Ya mengomunikasikannya dengan pasangan sambil saling memaknai. Karena komunikasi saja akan jadi mental kalau keduanya tidak saling mampu memaknai. Seseorang bilang sama saya, “cinta adalah (saling).
Buat kamu (khususnya perempuan) yang memiliki trauma akan cinta, it’s oke untuk memberi ruang dulu pada diri sendiri. Sebelum akhirnya kamu memutuskan membuka hati kembali, kembalilah dulu pada cinta akan diri sendiri. Rawatlah cinta dengan fokus pada hal-hal yang bisa dikendalikan, dari dan pada diri sendiri. Sehingga, ketika kamu sudah cukup merasa siap, kamu mampu kembali mencintai seseorang secara bijak, dan menerima bahwa kamu layak dicintai juga. Mungkin, pada dasarnya kita adalah makhluk bucin. Tentunya, bagaimana kita menjadi seorang bucin yang sadar, bahwa cinta bukanlah perkara menaka siapa yang paling layak dicintai, tetapi menjalaninya secara sadar akan baik atau buruknya dampak yang ditimbulkan oleh cinta. Dan untuk kamu yang mulai kembali membuka hati, semoga cinta yang ada mampu saling mendekatkan pada hal-hal baik. Selamat mengasuh kebucinan secara sadar.
****
Disclamer :
Tulisan adalah opini saya pribadi. Silakan meninggalkan komentar untuk bisa saling memberi perspektif
Maseko says
TFS mbak.. seperti biasa, tulisannya bermakna sangat dalam..
Mira Sahid says
Smaa-sama, Maseko
RikaTia Batubara says
Terima kasih mbak Mira utk insightnya. Saya setuju dengan tulisannya karena menurut saya pribadi tidak ada yang salah dengan yang namanya “rasa” atau “perasaan” yang membuat rasa menjadi salah adalah dimana kita menempatkan rasa/perasaan tersebut.
Memang butuh kesadaran penuh untuk kita bisa menyadari segala hal tentang rasa harus mampu mengarahkan logika, nalar, hati dan perasaan tetap seiring sejalan (balance). Tapi begitu syuliiitt ygy! hehee saya pun masih belum mampu tapi tetap berusaha.
Semangat sadar dan menyadari bahwa “rasa” adalah hal yang melekat dalam diri yang tak bisa dilupakan, dibuang maupun dihilangkan. Dengan berkesadaran penuh maka Insya Allah kita pelan-pelan bisa menerima segala rasa dalam hidup tak terkecuali rasa cinta ❤️ *eeciyee 😁
Ini semua saya tuliskan berdasarkan apa yang saya rasakan dan sepemahaman saya saja. Dan sedikit banyaknya pengalaman yang mbak Mira tuliskan ada sedikit kemiripan dengan cerita hidup saya.
Sekali lagi terima kasih mbak Mira sudah memberikan ruang untuk saya dengan berbagi tulisan yang bermanfaat dengan sudut pandang yang berbeda. Semoga saya bisa bergabung dengan komunitasnya mbak Mira 🤗❤️
Mira Sahid says
Alhamdulllah, terima kasih sudah berbagi pemahaman dan pengalaman, Mba. Semoga sehat dan berbahagia selalu
Maureen says
Nah, setuju. Bucin yang mindful ini emang lebih sehat daripada bucin maksimal ya Mir. 😀 Peluuuk kangeeen!
Mira Sahid says
Sehat selalu untuk kamu ya, Oyen :-*
Begras Satria says
Setelah 7 tahun dan pernah dekat dengan seseorang dan seseorang itu bahkan bilang bahwa cinta itu saling, kenapa belum bersama seseorang itu Mbak ?
Mira Sahid says
Akan bersama, jika sudah waktunya, Inshaallah