Saat mau menentukan konten atau niche yang pas untuk blog ini, jujur saja, sampai saat ini saya masih suka bingung. Mau nulis ala fashion blogger, kok ya gayanya nanggung. Alhasil foto-foto ala fashion blogger cuma sampai di upload via instagram aja. Mau ngaku Travel blogger, tapi kan jarang piknik. Mau jadi beauty blogger, nggak sabaran kalau kudu rajin ngegambar wajah. Secara, bikin alis aja sampai sekarang enggak pernah bisa rata. Mau jadi food blogger, apalagi! Nggak doyan dan nggak pintar masak.
Lalu, akhirnya saya memutuskan, ben wae lah… saya mau nulis apa yang saya pikir dan rasakan saja. Walaupun akhirnya saya menyadari, passion menulis saya ini jatuhnya lebih kepada tulisan-tulisan pengembangan diri. Baik yang dilandaskan atas dasar pengalaman sendiri atau dari cerita orang lain. Sebut saja, cuma tulisan curhat.
Well said, dalam perjalanannya, ada sebagian pembaca yang merasa bahwa tulisan saya mewakili perasaannya, sehingga ia mendapatkan insight atau makna dan manfaat, ada juga yang beranggapan bahwa tulisan saya terkesan mendayu-dayu, sehingga si pembaca bisa terbawa suasana, atau lebih dalam lagi, yakalau sedih, ikutan sedih. Padahal ya, sekuat tenaga saat saya menulis, saya berusaha untuk nggak mengeluarkan energi itu (*sedih) tapi justru lebih kepada ingin mengajak pembaca untuk selalu mengambil makna dari setiap perjalanan kehidupannya. Semoga saja yaa. Udah cukup disclaimer blog nya yaa.
Nah, sekarang kita masuk ke topiknya nih, “Belajar Pintar Merasa!”
Teman-teman, sahabat super sekalian di seluruh angkasa maya. Kalau kita ngomongin masalah, setuju ya, bahwa hidup itu adalah proses panjang yang dalam perjalanannya akan banyak sekali lika-likunya. Sekali seseorang terkena masalah, pasti perasaannya campur aduk. Apalagi kalau sampai berkali-kali, seolah ia selalu saja ditimpa masalah dan kesusahan, sampai benar-benar dalam titik terendah kehidupannya. Ibaratnya, kue serabi sudah matang dibolak-balik, eh masih aja kena tungku api sampai gosong.
Ada saatnya seseorang pun akhirnya merasakan seolah putus harapan. Karena apa, beban hidup yang dirasanya sudah terlalu berat. Dalam hal ini, ukuran beratnya masalah memang beda-beda. Ada yang terkena musibah, ada yang berpisah dengan pasangannya, anaknya, atau urusan hutang yang berkepanjangan, dan buanyaaak lagi. So deal with all of the things ya, bahwa semua orang akan sampai pada titik terendah dalam kehidupannya.
Sebagai makhluk yang doyan nonton dan komentari kehidupan satu dengan yang lainnya, secara nggak sadar kita mulai terbawa arus yang namanya kesombongan diri, yang mana jika melihat teman, kerabat atau saudaranya kesusahan, sisi lain dari kita seperti menyepelekan. “Yaelah, gitu aja baper. Yaelah, masalah segitu aja dibesar-besarkan.” Dan semua judgement endebray-endebroy nya.
Nggak salah sih, kita punya pemikiran seperti itu, toh kadang saya aja masih suka gemes sambil gigit bibir Vin Diesel sendiri kalau lihat status teman yang isinya nge galau, curhat atau berisi keluhan. Tapi yang kudu kita pahami, kalau semua itu tentu ada ukurannya. Skala curhat emang bervariasi, Sis.
Contoh sederhana, saya punya seorang teman yang ditinggal meninggal oleh suaminya. Beberapa kali saya lihat statusnya galau. Bahkan kalau bicara waktu, mungkin ini sudah masuk tahun ketiga saat suaminya meninggal. Terus, saya juga pernah melihat seorang single parent karena perceraian, mengeluhkan bahwa menjadi Ibu tunggal itu, sulit. Belum lagi godaan-godaan para lelaki yang haus akan kepuasan urusan kasur semata. Ada!
Jujur, kadang saat baca status seseorang yang isinya sedang mengeluh, saya suka membandingkan dengan apa yang saya alami. Tapi kemudian saya mikir. “Eh, Mir, mending nggak usah membandingkan deh, lo nggak tau apa yang dia alami sampai saat dia bikin status tersebut. Kalau lo nggak suka atau nggak setuju, udah diem aja. Lebih bagus lagi, lo support deh tuh orang, atas dasar kemanusiaan. Hitung-hitung nambah pahala tebar-tebar semangat. Kagak ada ruginya juga bagi-bagi support, ketimbang elo malah men-judge masalahnya. Masih mending elo “pintar merasa” deh, daripada elo “merasa pintar.” *hening
Yup, saya sering menampar diri sendiri kalau saya mau membandingkan masalah dengan orang lain. Se-ceplas-ceplosnya komen saya, akhirnya saya suka mikir lagi, dan memaksa diri untuk istigfar. Lalu, perkara diantara kita yang kadang juga butuh hiburan buat sekedar nulis status galau, ya suka-sukanya masing-masing juga toh. Elo mau support, kasih, lalu lupakan. Elo nggak setuju atau nggak mau, mending mingkem deh itu mulut atau jarinya. Tanya ama hati masing-masing, hidup gue udah bener belum ya? *selfreminder
Buat yang punya status juga (self reminder lagi), proses belajar berlaku sama. Jangan mentang-mentang lagi kena masalah, terus kita memperlihatkan kesusahan terus-menerus. Sesekali boleh, asal jangan keseringan. Curhat di Path aja, yang memungkinkan cuma circle terdekat kita yang tau, atau yang cukup bisa fair membaca statu-status kita tanpa harus men-judge. Satu hal yang perlu diketahui, cuy. Enggak semua orang peduli dengan kehidupan dan kesusahan kita. Engga semua orang punya empati tak terbatas. Dan enggak semua orang pintar merasa.
Paling gampang memang, merasa pintar, daripada pintar merasa. Paling puas, bisa membandingkan kehidupan kita sama orang lain. Tapi coba deh, please... be nice sama kehidupan kita masing-masing, belajar pintar merasa pada kondisi orang lain! Siapa tau, suatu saat kita sendiri yang ada dalam posisi orang tersebut. Dan…jangan nunggu Sang Maha Kuasa sampai membolak balikkan kita dalam keadaan paling bonyok, baru kita bisa bijak melihat masalah orang lain. Sakit lho rasanya.
Setiap orang butuh proses, setiap orang butuh ruang, setiap orang punya caranya sendiri dalam menghadapi dan menyelesaikan masalahnya. Meski kadang sampai bosen bacanya, meski sampai 1, 2, 10, atau 50 tahun lagi, biarin aja! Toh mereka nggak ganggu hidup kita. Nggak suka, tinggal unfollow. Tapi jangan pernah memperlihatkan “kepintaran” kita terlalu berlebihan, yang bisa saja itu malah jadi berbalik pandangan negatif buat kita, dan terkesan selalu menyepelekan kehidupan.
Buat saya, untuk berpikir positif itu memang nggak gampang, untuk menjadi baik itu banyak banget godaannya, dan untuk menjadi benar itu, nggak akan pernah bisa. Karena benar hanyalah milik Sang Maha Kuasa. Terus, buat apa kita sombong? #ThankYouILearn
*Dalam perjalanan kota Kasablanka – rumah.
windah says
makjleb deh bacanya, semoga saya termasuk yang mau belajar untuk itu :). thankyou sentilannya mba mira
Ika Puspitasari says
Kalo saya lebih senang menempatkan diri saya di tempat orang lain, supaya ada rem untuk tidak merasa lebih dari orang lain.
inda chakim says
makasih makpon, sdh mengingatkan, 🙂
Uci says
Suka banget ini mba.. Pintar merasa, ini susah.. kadang kan dalam tulisan suka pembacaannya beda yah dengan ngomong langsung..nadanya beda, jadi hrs lebih hati2, makasih udah nulis ini ^^
Naqiyyah Syam says
Aku sendiri kadang menikmati tulisan curhat di blog orang mbk.
Tanti Amelia says
Oh yeah,
feel the sadness in a good way for me just like this quote :
‘Hold the sadness and pain of samsara in your heart,
and at the same time the power and vision of the Great Eastern Sun.
Then the warrior can make a proper cup of tea.’
– Rinpoche –
Isti Thoriqi says
Berusaha belajar untuk pintar merasa…
Makasiy renungannya, Makpon cantik…
Istiana Sutanti says
Iyaa mbaak.. Kita mah gk bisa membandingkan hidup kita sama orang lain yaa, gk akan pernah bisaa..
BTW, suka kata2 “pintar merasa”, daripada “merasa pintar.” wehehe ?
irma susanti says
Trima ksh pencerahannya makpon… yuk belajar pintar merasa dr pd merasa pintar 🙂
Zilqiah says
Aq orangnya perasaaaa.. Suka bgd tulisannya makpon..
Levina Mandalagiri says
Hehe..betul Mbak…
Kadang kesel udah rasanya mau tumplek semua unek2..eh pas mau ditulisin di status jd berpikir ulang…
Tapi kadang klo udah saking kesel y masih suka sih Mbak..
Tarry KittyHolic says
Yang susah ya pinter merasa itu, apalagi kalau belum pernah kesandung masalah seperti Yang orang lain alami. Bawaannya nyinyir aja 🙂
Terima kasih sharingnya mak Mira
Nadia Khaerunnisa says
Persis lagunya Lady Gaga ya makpon, “‘Till it happens to you” 🙂 liriknya nendang dan related sama kehidupan.
Nia Haryanto says
Setuju Makpon. Aku juga kalo baca2 status galau, terutama emak2, suka sebel apalagi yg ga mupon-mupon. Pengennya komen sadis supaya dia brenti begitu, malu sama umur. Tapi akhirnya gak jadi. Ah sudahlah, terserah saja. Gak tahu juga sebab mereka begitu. Mending hide aja kalo ga suka.
Suka banget dengan frase: Pintar merasa lebih baik daripada merasa pintar. Super!
Winda Carmelita says
Saya suka tulisan ini. Nggak usah mikirin niche blognya Mak, apapun yang Mak Mira tulis, aku suka 🙂
Aprillia Ekasari says
Saat mendengar/ tau curhat seseorang jujur kadang suka merasa “alhamdulillah, hidupku lbh baik” huhuhu jadi kesentil nih. Eh, tapi aku selalu support sih klo ada yg curhat2 gtu, terutama tmn baik ya…
Ipeh Alena says
Engga semua orang punya empati tak terbatas. ~
Ini sungguh mengena sekali Mak, bahkan kadang kalau ketemu orang yg langsung ngejudge bawaannya pengen nangis aja. Tapi, ya begitu Mak. Dengan bertemu orang2 seperti itu, saya belajar untuk JANGAN PERNAH MENIRU TINDAKAN ORANG TERSEBUT. Karena saya tahu lukanya seperti apa.
Etapi bener sih, Mak Mira cocok buat self motivate gitu..
Kang Alee says
Bikin adem Mbakyu
Annisa Steviani says
mbaaaa, kangeeennnnn :* :* :*
indah nuria Savitri says
memang tantangannya besar untuk selalu bisa berpikir positif mak..tapi justru itu kenapa kita harus melakukannya. Otherwise, kita akan terpuruk and you don’t want that in your life..