“Ma, aku mau tinggal sama Ayah.” Suara si sulung terdengar sedikit lirih.
Sebuah kalimat yang sebenarnya tidak pernah terpikirkan dalam benak saya selama ini. Memang, sejak saya berpisah dengan ayahnya anak-anak, kedua anak saya tinggal bersama saya. Alhamdulillah, dengan berjalannya waktu, anak-anak sehat, tidak kekurangan apapun, meski tidak dipungkiri, satu hal yang berkurang adalah, tidak adanya sosok ayah bagi anak-anak, di rumah ini.
Permintaan si sulung ini, hadir di tahun keempat sejak saya menyandang status ibu tunggal. Jujur saja, ada perasaan kaget, sedih, namun saya bangga terhadap si sulung, karena ternyata, ia memilih untuk hadir menemui ayahnya, ketimbang ia sekedar menunggu ayah datang. Well, kesibukan kerjaan pak mantan memang menyita waktu, bahkan sejak kami masih satu dalam atap rumah tangga. Jadi ketika beliau belum bisa bertemu anak-anak dalam waktu yang intens, saya bisa memaklumi, dan justru sayalah yang mendorong anak-anak agar menghubungi atau menemui ayahnya. “Kok, bisa?”
Sebagian yang mendengar cerita tentang sikap saya ini, terkadang memberikan ekspresi heran atau terkejut. Tapi saya bisa memaklumi, karena tentu setiap orang akan berbeda dalam memahami sesuatu. Buat saya, tidak apa. Urusan saya bersama ayahnya, adalah urusan kami. Konflik yang dulu sempat ada antara kami, adalah tanggung jawab kami berdua. Anak-anak tidak harus menerima apa yang bukan menjadi porsinya.
Tidak sedikit, ada teman-teman yang berstatus ibu tunggal, membawa konflik dirinya ke dunia anak-anak. Akibatnya, sang anak bisa benar-benar merasa sedih, tertekan, bahkan turut membenci ayahnya. Hal ini, kerap kali saya temui juga di beberapa status sosial media, yang terang-terangan mengatakan bahwa mantan suaminya adalah makhluk paling buruk, paling hina, paling layak dicaci maki. Meski kenyataannya si suami telah menyakiti, ada baiknya, jika marah… tak perlu diumbar ke sosial media. Karena semua yang kita bagikan bisa menjadi rekam jejak, yang mungkin saja, kelak akan dibaca oleh anak-anak. Saya pribadi tidak merasa telah sempurna mengelola apa yang saya bagikan di sosial media terkait kisah saya, namun, jikapun ada tulisan yang kurang baik yang sempat saya bagikan, akan saya jadikan pelajaran untuk tidak mengulanginya lagi.
Tentang peran Ayah setelah perceraian
Kalau diingat-ingat, atau pada kenyataannya, saya yakin setiap ayah begitu menyayangi putra-putrinya. Kadang, anak-anaklah yang bisa menjadi benteng bagi para ayah dalam menjalani perannya. Namun, ayah juga manusia, yang kadang bisa khilaf, atau belum sepenuhnya paham akan perannya. Banyak dari para ayah, yang mungkin paham sampai sebatas, bahwa perannya adalah mencari nafkah. Urusan rumah tangga, anak-anak sepenuhnya diserahkan kepada sang ibu. Tidak bisa disalahkan jika itu terjadi, maka dari itu, komunikasi menjadi penting, bagaimana membagi peran masing-masing. Apalagi ternyata, pada mereka yang telah berpisah, sebaiknya komunikasi terus berjalan dengan baik.
Dulu saya tidak pernah membahas mengenai bagaimana peran antara suami dan istri. Pokoknya semua berjalan sesuai porsi. Bedanya, Alhamdulillah selama ini, saya tak sekedar menjadi ibu rumah tangga yang tidak menghasilkan, karena saya diberi kesempatan untuk membantu dalam mencari nafkah. Setelah berpisah, waktu jualah yang memberikan pembelajaran baru, tentang bagaimana sebaiknya konsep parenting bisa dijalankan oleh kedua belah pihak. Saya belajar dari kisah-kisah mereka yang sampai saat ini termasuk berhasil menjalaninya dengan baik. Meskipun tolak ukur keberhasilan konsep parenting itu, kembali ke masing-masing pasangan, setidaknya, kelak, jika saya kembali bisa menikah lagi, saya sudah punya bekal yang lebih banyak dari sebelumnya. Inshaallah, aamiin.
Lalu, bagaimana sih sebaiknya peran ayah sebagai imam dalam keluarga?
Namanya juga, imam, pemimpin keluarga. Sejak “saya terima nikahnya,” yang terucap dari mulutnya kepada bapak mertua, maka sejak saat itu semua tanggung jawab sang perempuan, hingga anak-anaknya adalah menjadi tanggung jawab suami (ayah). Ayah (suami) punya tugas mengayomi sang istri, menjadi pendidik utama bagi keluarga, yang kelak akan mempertanggung jawabkannya kepada Rabb-nya. Jika sang istri marah-marah, maka tenangkan ia dengan sapaan lembut. Jika sang istri berlaku kasar, maka dekaplah ia dengan pelukan. Jika sang istri bersedih, maka jadilah yang pertama menghapus airmatanya. Jika sang istri tak paham ilmu agama, maka bimbinglah ia dengan pemahaman ilmu agama. Mashaallah, duh… saya kok, jadi haru sendiri membayangkannya. 😀
Anyway, dalam tulisan ini, saya tidak bermaksud menyudutkan laki-laki dalam perannya menjadi seorang ayah. Saya percaya, setiap ayah selalu melakukan yang terbaik bagi keluarganya. Anggaplah ini sebagai harapan, dan doa kebaikan untuk saya jika kelak Allah kembali memberikan calon imamnya untuk saya.
Dan untuk Ayah, jika waktu telah membuatmu teramat sibuk dengan pekerjaan, jedalah sejenak, nikmati waktumu kembali, untuk dirimu dan keluarga. Jika pikiranmu terlalu penat, maka tengoklah putra-putrimu, karena pada mereka, ada harapan besar akan cinta kasihmu. Jika jarak membuatmu tak bisa menemui mereka, maka ambillah ponselmu, hadirlah bagi mereka, meski sekdar menyapa dan sampaikan rindu. Jika kau mulai Lelah dengan perjuanganmu, maka datanglah pada ibumu, bersandarlah, dan mintalah doa sebagai kekuatan untuk setiap langkahmu.
Dan untuk Ayah yang tak lagi bersama ibu dari anak-anaknya, tetaplah sambung silaturahmi. Tidak ada yang lebih indah dari menjaga cinta kasih bagi anak-anak selain silaturahmi. Tidak ada lagi yang perlu diperdebatkan tentang salah dan benar. Kisah dulu, adalah bagian dari proses pendewasaan masing-masing. Hapuskan segala amarah, benci, atau dendam. Karena memaafkan, bukan berarti yang paling salah. Memaafkan, adalah bagian dari proses memberi kebaikan untuk diri masing-masing. Memaafkan adalah bagian dalam menciptakan bahagia.
Ayah, pulang, ya.
Pulang ke dalam kebaikan hatimu
Pulang ke diri sendiri
Pulang, menjadi sebaik-baiknya dirimu
*******
Menjadi Ayah Yang Keren
Oh, iya. Sabtu lusa ada acara online : Siberkreasi Class yang temanya tentang “Menjadi Ayah Keren”, silakan para Ayah untuk meng-upgarde wawasannya melalui kelas ini. Tidak ada salahnya untuk kembali medengarkan hal-hal apa saja yang sekiranya harus dilakukan oleh Ayah, langsung bersama narasumber para Ayah juga.
Nurul Sufitri says
Ketika akad nikah, sang ayah memberikan dan memercayakan anak gadisnya kepada lelaki yang seyogyanya dapat menjadi imam keluarga terbaik dan mengayomi. Jika suatu hari mungkin ada hal2 yang tak diinginkan, seharusnya suami mengembalikan isterinya pada sang mertua. Menjadi ayah yang keren itu pasti siap siaga memenuhi kebutuhan anak2nya terutama jika nanti butuh wali nikah.
Mira Sahid says
Iya, termasuk kebutuhan lahir batin sang istri 😀
Mas Eko says
…. :'(
Mira Sahid says
Nape pak? 😀
Dedew says
Terharu bacanya Mak, anak-anak tetap dekat dengan ayahnya walau orang tua mereka sudah berpisah, salut Mak..semoga sehat bahagia sekeluarga ya..
Aamiin…
Mira Sahid says
Aamiin, makasih mak Dedew
Suciarti Wahyuningtyas says
Jadi ingat waktu beberapa hari sebelum menikah, almarhum papahku pernah bilang “sebentar lagi kamu akan jadi tanggung jawab suamimu, kamu harus patuh dan nurut sama suami” mendadak saat itu air mataku deres. Mulai deh membuat komitmen waktu berumah tangga dan semenjak memiliki anak pun kami membuat komitmen baru lagi. Apalagi dalam hal pengasuhan anak, aku ingin keduanya berperan untuk itu. Dan aku salut banget sama mak Mir dan juga teman-temanku yang menjadi ibu tunggal dan bisa selalu memberikan yang terbaik untuk anaknya dengan tidak menghilangkan peran ayah.
Mira Sahid says
Hehehe, ALhamdulillah senang mendengar kolaborasi yang oke antara mak Chie dan suami. Inshaallah, karena ini sudah jalanku, jadi sebaik mungkin dilakukan
Neti says
Ayah mungkin kebersamaannya dengan anak-anak tidak seintens ibu, tapi perannya sangat berarti. Anak-anak yang dekat dengan ayahnya cenderung tumbuh menjadi anak yang pemberani dan percaya diri. Ah, selalu rindu ayah!
Mira Sahid says
Iya, betul sekali. Thanks ya mak
Ophi Ziadah says
wanted… ayah keren dan calon ayah keren hehehe…
menjadi ayah keren sebagaimana menjadi ibu keren emang butuh ilmu dan proses ya mak.
ga ada paket langsung jadi, yang pasti harus punya kemauan utk berilmu dan belajar menjalankan ilmu yg didapat selain tentu saja pengalaman.
Siti Nurjanah says
Bijak dalam menyikapi segala yg terjadi, konflik yang pernah ada tak semestinya di limpahkan pula kepada anak sehingga mereka menjadi tertekan dan sedih. Ehmm saya suka dengan pola pemikiran seperti ini, sebab masih banyak di luaran konflik antara orang tua dan anak pun terimbas.
Sosok peran sang ayah pun tak kalah pentingnya di tengah keluarga, dan untuk menjadi yang terbaik tentu perlu pemahaman yang mendalam
Yati Rachmat says
Terharu juga bunda mengikuti untaian kalimat Mira di postingan ini. Setelah terjadi perpisahan tempat yg terbaik buat permata2 hati adalah di sisi ibu. Ini yg terpenting dari yg penting lainnya. Apa itu? Sebahai ortu tunggal dlm hal ini seorang ibu “wajib” menjaga agar hubungan ayah dan anak2 terjaga dengan baik hingga kapanpun. Memang sangat berat bahi seorang mantan istri utk melakukan hal ini. Tetapi inilah ujian kita sebagai ibu yg menjadi ortu tunggal. I had been there too, my dear Mira. Dengan melakukan ini hubungan ayah, íbu dan anak akan menjadi satu kenyamanan tersendiri yg dirasakàn oleh anak sehingga tidak akan ada lg keinginan yg terlontar dari si Sulung atau si bungsu. Yg akan ada pastilah: “Ma, aku kangen ayah.” Bersahabat dengan mantan adalah yg ternyaman bagi anak. Berat memang tp mnrt pengalaman bunda itulah yg membuat anak bertambah hepi dan tenang disamping kita, ibunya ketimbang dengan ayah sekalipun ayah kerennya anak2. Masfkan bunda ya kl ada kata atau kalimat yg tdk berkenan di hati Mira. Tp itulah “secuil”pengalaman yg tlh bunda alami. Salam sayang bunda utk anak2 dan Mama Mira sebagai Single Parent yg keren dan hebat sehingga anak2 pun tumbuh menjadi keren dan hebat pula.
Rina Susanti says
Kondisi ini juga kayaknya yg membuat si sulungbjadi lebh dewasa ya mak Mira. Salut mak Mira bisa memilah urusan pribadi dgn suami dan anak2 (ga bawa anak2) dgn begitu mental anak2 jd sehat ya dan lebuh dewasa memahami situasi
Widyanti Yuliandari says
Aku mungkin hanya seorang yang melihat perjuangan seorang Mira Sahid menjadi ibu tunggal, dari kejauhan. Tapi aku tahu dirimu pasti kuat dan akan melaluinya dengan baik.
Nia Nurdiansyah says
Ketika ego bisa dikesampingkan, ortu tetap bisa saling berhubungan bahkan kerjasama untuk mendidik anak apa pun situasi perasaan keduanya di masa lalu ya, Mba. Anak2 jadi tetap punya sosok yg lengkap di dalam hidupnya
lendyagasshi says
Menjadi seorang suami dan ditambah lagi menjadi Ayah adalah sebuah amanah terbesar dalam hidup laki-laki. Jadi, selalu belajar dan belajar agar dapat membimbing keluarga menjadi yang lebih baik.
Nuhun, kak Mira. Tulisannya selalu membuatku mengharu biru.
Erin says
Betul mba peran ayah itu tidak hanya menafkahi tapi mencurahkan kasih sayang untuk anak-anak juga hal penting.
Wiwied Widya says
Entah karena ini pengaruh budaya patriarki atau ada sebab lain, tapi aku merasa kebanyakan laki yang kemudian menjadi ayah, cuma paham kalau tugasnya mencari nafkah. Sekadar itu. Pendidikan selama ini kan ngajarinnya gitu ke anak laki.
Waktu awal nikah dulu aku juga rada shock krn suami kelihatan nggak mau ikut campur urusan domestik. hahaha. Salahku jg kali yg ginian ga didiskusiin dari awal. Soalnya di keluargaku ga gitu. Bapakku involve banget ke urusan domestik dan ikut ngurus anak2nya juga. Makanya kita deket bapak. Bapak sibuk, tapi selalu “ada” buat kita. Makanya pelan2 kasih pengertian ama suami buat kerjasama untuk urusan “rumah.
Ehh, jadi curhat. hahahaha
Latifika Sumanti says
Membayangkan di posisi Mba Mira dan membaca tulisan sendiri, izinkan aku ikut terharu Mba. 4 tahun single fighter bukan hal yang mudah, menata hati sendiri, anak, menyusun ulang finansial. Tapi alhamdulillah senang mendengar kalo Mba Mira bisa banyak belajar hal dari sini, bukan malah bingung arah. Boleh ga saya berdoa? semoga Mba Mira mendapat pengganti imam yang bisa menenangkan dengan sapaan lembut jika Mba sedang emosi, yang pertama menghapus air mata Mba jika bersedih, dan yang lebih paham tentang agama dan membimbing Mba di jalan-Nya, seperti yang Mba Mira inginkan.
Aamiin ya Mujiib
Mira Sahid says
Mashaallah, terima kasih atas doa dan support positifnya, mba
Indah Juli says
Inget banget pesan almarhumah Mama ke anak-anaknya yang kala itu suka kesal sama almarhum Bapak, sejak diphk, enggak punya pekerjaan tetap, lebih banyak di rumah, dan menurut kami anak-anaknya enggak benar, Mama bilang, seburuk-buruknya Bapak, itu adalah Bapakmu, yang darahnya mengalir di tubuhmu, yang enggak bisa kamu buang. Di saat kalian nggak suka, ingatlah hal-hal baik yang telah dilakukan Bapak untuk kalian.
Ku ingat banget, Bapak itu orang yang paling care sama anak-anaknya, selalu jadi orang pertama yang memberikan ucapan selamat ulang tahun ke anak-anaknya, orang yang rela mengantar anaknya saat pertama masuk SMA, kuliah dan masuk kerja.
Kenapa jadi panjang ya 🙂 jadi curhat.
Muzakky says
Kisah hidup yang sangat menyentuh hati dan mengingatkan saya sebagai seorang suami sekaligus ayah bahwa peran dan amanah kita tidak hanya mencari nafkah melainkan kewajiban memberikan kasih sayang dari sisi figur seorang suami dan ayah yang sulit tergantikan oleh peran Ibu juga pendidikan /tarbiyah di lingkungan kelurga.
Meluangkan waktu diantara kesibukan bekerja adalah sesuatu yang terkadang diabaikan oleh para suami/ayah.
EMBUNPAGI says
BARAKALLAH
EMBUNPAGI says
AAMIIN
Maz Guru says
Jadi sedih bacanya.
Dalam keluarga urusan orang dewasa emang harus orang dewasa aja yang nanggung semua resikonya. Tidak melibatkan anak sebagai bagian dari konflik adalah keputusan terbaik.
Makasih sudah berbagi cerita.
Cukup jadi pelajaran berharga.