“Patah hati bisa terjadi pada siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi apa saja. Lalu, butuh berapa lama untuk kembali menata hati?”
Malam itu, suara notifikasi dari DM instagram masuk ke akun saya, saat saya beranjak ke peraduan malam, alias mau bobok. Ternyata, dm tersebut dari seorang teman blogger, yang lama tidak saling bertatap atau berkomunikasi. Meskipun dalam postingan-postingan di media sosial, kita kerap kali mudah melihat perkembangan teman-teman kita. Nah, bedanya, saat kita menerima sapaan, maka momen itu menjadi intim buat saya.
Awalnya, teman ini menanyakan perkara akun instagram saya yang berbeda dari biasanya. Ya, bukan hal penting sih, tapi dari obrolan itulah, kemudian mengarah pada obrolan yang lebih serius.
“Mak, boleh tanya sesuatu, enggak? Tapi ini agak pribadi.” Begitu sapanya
“Silakan saja.” ujar saya
“How do you feel? Ibarat habis patah hati dari kisah yang lalu, apakah sekarang sudah sembuh atau belum?”
Saya sempat mengernyitkan dahi, sih. Ta pikir pertanyaannya soal kerjaan atau komunitas gitu. Ternyata dia menanyakan soal kehidupan pribadi saya. Salah? Enggak juga. Saya menganggapnya itu bentuk perhatian dia terhadap saya. Perkara kepo juga wajar, toh mungkin apa yang saya alami dulu juga sampai ke telinga banyak orang, mungkin. Jika masih sanggup saya jawab, Insha Allah akan saya jawab, apalagi teman sendiri. Sebelumnya, terima kasih sudah menaruh perhatian ya, mak.
Seketika saya langsung flashback, pada 3 tahun yang lalu. Apakah pertanyaan “patah hat” dari teman saya ini memang soal kisah 3 tahun lalu. Ah, iya bisa jadi sih. Karena setelah kisah itu, saya belum memunculkan kisah terbaru lagi dalam kehidupan saya. Kalaupun ada, saya belajar dari sebelumnya, agar menjadikan apa-apa yang pribadi, sebaiknya dibatasi untuk orang-orang terdekat saja.
Ok, saya akan coba jawab pertanyaan ini ya. Meskipun sudah saya jawab. Rumus saya sih sederhana, saya ingin berbagi saja, terlepas apakah nantinya bisa diambil hikmahnya atau tidak, teman-teman sendiri yang menilai.
Tidak ada satu orang pun di dunia ini yang menginginkan perpisahan. Apalagi jika sebuah kondisi yang sudah berkeluarga dan memiliki anak. Banyak pertimbangan yang harus dipikirkan dengan baik, karena bagaimanapun… anak tetap akan merasakan dampak dari keputusan orangtuanya yang berpisah. Baik itu perpisahan dengan kematian ataupun perceraian. Tolong digaris bawahi ya, anak hanya terkena dampak, bukan korban. Masa iya kami (para orangtua dengan sengaja mengorbankan anak). Deal?
Lalu, seperti yang pernah saya tulisakan di beberapa postingan sebelumnya juga, bahwa proses untuk bisa kembali baik itu tidak instan. Dan setiap orang akan berbeda dalam menjalankan proses menata hatinya. Kalau ditanya berapa lama saya butuh berdamai dan kembali move on? Mungkin sekitar 1.5 tahun. Jadi kalau saat ini ditanya apakah saya sudah membaik? Insha Allah jawabannya sudah. Meskipun setelah fase perpisahan dengan sang mantan, sebetulnya ada fase lain yang membuat kehidupan saya juga tetap berwarna. Alhamdulillah.
Ada orang-orang yang memiliki karakter, kalau sudah disakiti, sulit memaafkan dan sulit melupakan. Ah iya, sebagai manusia biasa, saya pun pernah berada dalam kondisi tersebut kok. Rasa-rasanya seumur-umur enggak pengen lagi berurusan sama orang-orang yang sudah menyakiti saya. Hanya saja, saya masih berpikir waras dan tetap menjaga lisan, untuk tidak mendoakan keburukan kepada mereka. Karena ternyata ketika saya memaafkan dan melakukannya untuk diri saya sendiri, itu jauh lebih mudah dan menenangkan. Perkara pada akhirnya seseorang itu tidak mau minta maaf atau memaafkan, urusan dia sendiri. Hanya saja mengajak diri berdamai dengan keadaan, manfaatnya juga buat diri kita sendiri kok.
Setelah fase sendiri ini, apakah saya tidak pernah merasakan sakit hati lagi? Ish, jangan salah. Beberapa hal terjadi lagi dengan aneka koteksnya. Bahkan dengan hal-hal yang tidak pernah saya duga sebelumnya. Tapi kali ini saya enggak akan bahas objeknya apa, ya. ada lah. Tapi yang perlu kta pahami pada akhirnya adalah, kita itu bisa tersakiti oleh siapa saja, kapan saja, dan dalam situasi apa saja. Maka dari itu, selalu persiapkan hati dalam kondisi terburuk, lillahita’ala.
Lalu, versi baik-baiknya itu, kaya apa sih? Ya itu tadi, tiap orang beda-beda kan, ya. Ada yang kembali membaik ketika pada akhirnya Tuhan sandingkan kembali ia dengan jodoh barunya, pekerjaan barunya, kehidupan barunya, dan lain sebagainya. Sementara versi saya saat ini, saya merasa kehidupan saya jauh lebih tenang saat ini (jauh lebih baik, dan harus baik). Bukan maksudnya saya terlena dengan kesendirian, ya. Hanya saja, kembali memfokuskan diri dengan anak-anak tanpa urusan hati dari lawan jenis itu, ternyata lebih menenangkan. Iya, kalau bisa membuat keadaan lebih baik. Lah, kalau ketemunya sama yang tidak lebih baik, trust me, saya banyak belajar soal ini. Yang penting, tetap belajar dari setiap fase, dan tekadkan diri untuk menjadi lebih baik. Dalam kehidupan, no body is perfect! So, it’s oke if you are not oke, lets do good! *note to my self
And how do I feel now? Alhamdulillah better and always create happiness. Yes, I deserved to be happy, mak!
Sekarang, saya sedang fokus memperbaiki diri, fokus kembali menemani tumbuh kembang anak-anak, fokus mencari pundi-pundi untuk kebutuhan sehari-sehari dan masa selanjutnya, fokus masuk ke dalam lingkungan baik, bertemu orang-orang baik, agar hati tetap bisa terjaga dengan baik dan juga waras. Karena ternyata proses yang paling membantu kita untuk segera membaik, adalah dengan mendalami proses spiritual, tentu dengan sebaik yang bisa kita lakukan. Dan perkara pak mantan, Alhamdulillah hubungan kami baik, sesekali saya juga memberi kabar tentang tumbuh kembang anak-anak. Bagaimanapun, anak-anak tetap harus mengenal ayahnya dengan baik, selama beliau masih ada.
Dan soal kehidupan saya? Saya berusaha lebih santai menjalani kehidupan saya, tidak terlalu tinggi berekspektasi, apalagi terhadap makhluk. Sadar diri banyak banget dosa, maka inginnya saat ini saya memperbaiki itu saja dulu. Dan buat teman-teman yang merasa dan pernah disakiti, dan sulit melepaskan rasa sakit hatinya, saran saya bersabar sama diri sendiri dulu. Lakukan proses spiritual lebih banyak dari biasanya. Karena sebaik-baiknya penolong hanya Allah Swt, maka kembalikan semua perkara kepadaNya. Kedua, mendekat sama teman-teman yang jauh lebih baik dari kita dari segala sisi, sehingga Insha Allah kita bisa termotivasi untuk menjadi lebih baik juga. Ketiga, ayo membuka diri, bertemu dengan orang-orang baru, supaya kita bisa mendapatkan peluang baru. Keempat, menulis atau berolahraga, Insha Allah jadi healing yang mujarab. Itu semua dari pengalaman saya ya, bisa jadi buat yang lain berbeda kasusnya. Jadi jangan sungkan membuka diri dan berdiskusi dengan sahabat atau orang-orang yang juga pernah mengalami hal serupa.
“Everything is going to be alright. Maybe not today, but eventually.”
Desy Yusnita says
Biarlah Allah Azza Wajalla menjadi sebaik-baiknya penolong dan pelindung.
Mira Sahid says
Sepakat. Thanks mak Echi :-*
Nengsih Hariyanti says
Masyallah terharu aku mak.. Apapun yg terjadi, hidup harus tetap berjalan ya mak.. BerjLan di atas koridor Nya..
Mira Sahid says
Betul, jalani saja sebaik-baiknya
Tuteh says
“And how do I feel now? Alhamdulillah better and always create happiness. Yes, I deserved to be happy, mak!” <- kalimat ini sangat menginspirasi, kak. Memang terkadang saya sendiri kalau sudah marah sama seseorang ya tidak mau beruusan sama orang itu, tapi dalam kondisi tertentu kita harus berurusan sama orang itu. Hadapi saja akhirnya dan biarkan apa yang terjadi … terjadilah (misal harus senyum atau menjawab sepatah dua patah pertanyaan). Dirimu hebat, kak. Sangat. Salut.
Mira Sahid says
Masya Allah kak Tuteh. Bukan aku yang hebat, Allah saja yang menutupi aibku. 🙂
Diah Dwi Arti says
“Everything is going to be alright. Maybe not today, but eventually.”
Very optimistic, mak. Can’t agree more.
Mira Sahid says
Terima kasih 🙂
Dianisa says
Terharu baca ceritanya ….
Turasih says
Dear Mba Mira, thank you for inspiring me… Sebagai single fighter yang baru berapa bulan, saya merasa terbantu dengan sharing Mba Mira di postingan ini. Boleh tahu Mba, untuk frekuensi anak bertemu Bapaknya bagaimana? Hal yang membuat saya masih jatuh bangun adalah soal anak dan waktunya dengan Bapaknya. Hak asuh alhamdulillah ditetapkan ke saya, tapi terus terang tekanan tidak mengenakkan masih selalu hadir.
Kartini R says
hidup memang pilihan mbak, membaca tulisan mbak mira semakin membuka mata betapa banyak rahasia hidup yg tidak kita ketahui, setiap orang punya masalah tidak semua mampu mengambil keputusan yang terbaik untuk diri sendiri, semangat yach sayang semoga kedepan menjadi lebih baik
Maseko says
Thank you, I learn ?