Beberapa waktu lalu, saya bertemu seorang kawan. Pertemuan kami saat itu memang terkait urusan kerja saja. Tapi karena sudah beberapa kali bertemu, dan terlebih lagi, kami sama-sama perempuan, maka obrolan pun tak sekedar urusan pekerjaan. Di sela-sela pembicaraan kami, muncullah bahasan tentang sekolah yang ditanyakan oleh teman saya itu. Sebagai seorang orangtua, tentunya kita ingin memberikan pendidikan terbaik buat anak-anak, kan? Bukankah itu hak anak yang menjadi kewajiban orang tua?
Meski kadang, kalau ingat biaya pendidikan yang bisa berpuluh-puluh juta, tetiba langsung shock mendengarnya, hihihi. Tapi bukan itu sih yang mau saya bahas. Melainkan soal dunia anak, yang mengalami kondisi orangtuanya yang bercerai.
Orang Tua Cerai, Anak Jadi Korban?
Ada yang bilang, kalau orang tua bercerai, pasti anak jadi korban. Saya sendiri tidak pernah melintaskan pikiran bahwa anak-anak saya yang menjadi korban.
Saya selalu mengafirmasikan, mereka akan baik-baik saja. Kekuranganya ya mereka memang tidak bisa melihat keluarga utuh, tidak bisa melihat kedua orang tuanya bersama. PR banget sih memang. Meski saya selalu yakinkan bahwa kami (saya dan pak mantan) tetap mencintai dan menyayangi mereka. Kami akan selalu ada untuk mereka.
Saya sendiri pun terus berusaha ikhlas dan pasrah dalam kondisi ini. Karena saya yakin, sebaik-baiknya pertolongan, ya hanya dari Allah Swt. Karenanya, sebisa mungkin saya tetap mengharuskan diri saya menjalin komunikasi yang baik dengan ayahnya anak-anak.
Berbeda dengan awal mula perceraian, saya akui memang saat itu adalah saat-saat terberat untuk diri saya. Saya kerap kali menyalahkan dan mencari objek untuk disalahkan. Siapa? Ya you know lah.
Bahkan dengan tidak sadar, saya pun kerap kali melibatkan anak-anak dalam proses kekecewaan saya. Beberapa kali, meski tidak frontal, saya selalu memberikan ekspresi kurang baik saat harus membahas ayahnya anak-anak. Ya habis gimana, sakit hati, Sis.
Untungnya saya cepat tersadar, bahwa saya tidak boleh membuat anak-anak malah membenci ayahnya. Iya, saya tidak boleh merenggut hak anak saya untuk mengenal sosok ayahnya dengan baik.
Hak Anak Adalah Tetap Hak Anak
Lalu, ketika saya bicara dengan teman saya itu, yang kebetulan dia juga mengalami sebuah kondisi saat orang tuanya bercerai. Alhamdulilahnya, dia mau berbagi tentang perjalanannya.
Bahwa iya, dulu ia sempat membenci ayahnya bertahun-tahun. Ia tak pernah ingin menemui ayahnya karena ibunya selalu memberikan kisah yang menyudutkan ayahnya. Dan baginya, ayahnya jahat karena telah meninggalkan ia dan ibunya, titik. Hingga proses pendewasaan dan keadaan pun menjawab segalanya.
Ia menemukan jawabannya sendiri, mengapa ayah ibunya sampai bercerai. Ia pun akhirnya memaafkan ayahnya, malah katanya… saat ini (setelah dia menikah dan punya anak), dia lebih dekat dengan ayahnya.
Inti dari yang ia sampaikan pada saya dari ceritanya adalah, kadang kala orang tua tak perlu menjelaskan apa pun kepada anak mengenai perceraiannya, apalagi menyalahkan satu pihak. Bagaimanapun adalah hak anak untuk mengenal kedua orang tuanya dengan baik. Seburuk apa pun kondisinya.
Selalu Penuhi Hak Anak Apa Pun Kondisinya
Dari situ, saya memaknai dan mencoba menelaah lagi. Khawatir kalau saya juga telah merenggut hak anak saya. Saya tidak ingin mereka punya pandangan buruk tentang ayahnya.
Saya sendiri pun selalu meminta ayahnya untuk bisa intens sama anak-anak di sela waktu kerjanya. Begitu pun sebaliknya, saya selalu mengingatkan anak-anak untuk berkomunikasi dengan ayahnya. Setidaknya, itu yang bisa saya lakukan saat ini. Urusan lain-lainnya, saya sepenuhnya pasrahkan pada Allah saja. Saya memilih berdamai dengan diri saya sendiri!
Dan kalau boleh saran, sebaiknya hal ini bisa dilakukan oleh teman single mom atau ibu tunggal lainnya. Atau bahkan sama semua istri yang masih bersuami kali, ya. Karena nyatanya, saya pun pernah melihat ada seorang istri yang kalau marah, pasti menjelek-jelekkan suaminya pada anak-anak. Apalagi yang single mom, tantangannya lebih berat lagi. Sudah mah disakiti, anak-anak ditelantarkan, terus ngomel-ngomel deh di media sosial. Ada.
Nah, perkara menahan diri memang butuh latihan. Begitu pun saya. Tapi satu hal yang saya sadari, sebelum menginginkan semuanya baik-baik, maka diri sendiri harus baik dulu, termasuk persoalan hati dan juga pikir.
Dan berikut yang mungkin bisa dijadikan acuan sebagai seorang single mom versi saya, agar kita tidak merusak mental anak dan tetap memenuhi hak anak
- Muhasabah, intropeksi terus ke dalam diri sendiri, plus maafkan dan berdamai dengan diri sendiri
- Jangan pernah menceritakan hal buruk tentang sang mantan pada anak-anak, karena ini efeknya panjang. Bagaimana pun buruknya, anak tetap punya hak untuk mengenal ayahnya, dan biarkan ia sendiri yang menyimpulkan
- Terus menjalin komunikasi dengan anak-anak, jika mereka sudah bisa berkomunikasi dengan baik
- Berusaha membangun komunikasi yang baik dengan sang mantan, meski awal-awal mendapatkan perlakukan cuek. Ingat, ini kita lakukan demi anak-anak kita.
- Tidak berhitung dengan sang mantan. Soal uang, soal pengasuhan, dan lainnya. Karena jika itu tak sesuai dengan ekspektasi kita, kemudian kita menuntut terus, kitanya sendiri yang akan kehabisan energi. Ingat saja, Ada DIA yang sudah pasti menjamin rezeki kita dan anak-anak
- Sesekali kirim email atau WhatsApp, bercerita tentang perkembangan anak-anak, setidaknya kita mengingatkan ayahnya anak-anak, bahwa dia masih orang tuanya. Meskipun dianya sudah menikah lagi.
Apalagi ya? Umh, kayanya segitu dulu deh dari saya.
Kalau ada teman-teman yang mau menambahkan, silakan lo. Intinya, saya juga masih berproses, baik untuk menjadi orang baik, maupun menjadi Ibu. Karena saya yakin, hal tersebut tidak terbatas usia, melainkan proses seumur hidup.
Yang penting, stop membenci, maafkan, berdamai dengan diri sendiri, meskipun sakitnya luar biasa. Karena kalau dipelihara, bisa merusak mental dan parnoan. Bahkan gila sendiri! Ok, Sis?
annisast says
karena sebenernya ga ada jaminan anak dengan orangtua tidak bercerai PASTI lebih bahagia dibanding anak dari orangtua yang bercerai kok. jadi semangat mbaaaa!
Mira Sahid says
Betul Icha, jadi sebetulnya, ini PR untuk semua orangtua yaa. Thanks sudah mampir darling
Ami says
Keceeeeeh
Mira Sahid says
Apanya? 😀
esthy wika says
Salut mbak, berani ambil keputusan ini. Banyak ibu di luar sana memilih bertahan, yg akhirnya berimbas ke mental anak di saat mereka besar. Tahunya soal ayah hanya bagian buruknya saja. Ternyata banyak hal jadi makin berantakan kalo masalah dipendam begitu lama dan tak ada niat memaafkan. Semoga mbak dan anak2nya dimampukan menjalani semua ya, amin.
Mira Sahid says
Aamiin, terima kasih banyak mba
Nuvaderma says
salut banget mba. mental anak memang harus dijaga saat orang tua nya mengalami perceraian.
Mira Sahid says
Iya, dan dalam segala keadaan, termasuk yang orangtuanya masih utuh bersama 🙂
dudukpalingdepan says
Jangankan single mom, yang masih suami istri aja kadang ada yang jelekin suaminya di depan anaknya hiks. Tapi salut sama mba yang dewasa menyikapi meski saya yakin butuh waktu juga 🙂
Mira Sahid says
Betul banget mba. Saya sangat berproses dan butuh waktu untuk menetralkan semuanya 🙂
De says
aku selalu salut sama orangtua yang berhasil mendidik anak utk tidak membenci salah satu dari orangtuanya walo mereka tidak lagi serumah. Gak gampang loh mengesampingkan ego, supaya anak tetap menghormati orangtuanya apapun yang terjadi dalam hubungan mereka.
stay strong, sis!
Mira Sahid says
Insha Allah. Makasih mba
Armita Fibriyanti says
Betul Mbak, anak-anak tetap punya hak tentang ayahnya. Kadang ketutupan sama ego kita, malah bahaya 🙂
Al Abbas sangadji says
wah sebuah artikel yang menarik ya, saya mendapat pandangan rasanya perceraian dari pihak wanita. sebelumnya, saya selalu menyalahkan kedua orang tua saya ketika mereka hendak bercerai, ternyata itu bukanlah salah mereka juga, tetapi mungkin bukan takdir dan jalannya. bisa buat referensi untuk bacaan ke ibu saya, kadang beliau suka cemburu kalo saya pergi bersama ayah saya. hehe
mungkin kaka bisa dapat ilmu dari tulisan anak broken home milik saya
https://catatanabbas.blogspot.co.id/2018/02/broken-home-kalian-bisa.html
terima kasih.
Dina says
Saya Uda pisah dari 10 th yang lalu dan masing masing sudah punya keluarga.anehnya…saya tetap ga bisa menjalin komunikasi baik dengan mantan,hanya dengan mantan mertua saja…???..
Dan..tanpa diceritakan anak akhirnya bisa membangun memory apa yang terjadi,kemudian bertanya.tugas saya hanya menjelaskan,tugas anak menyambung kenyataan dengan logika yang ada.alhamdulillah…setelah berpisah dengan mantan saya ketemu jodoh yang jauh lebih baik dan menjadi ayah luar biasa sabar untuk anak anak saya.emaknya kalah sabar
Jagoteknologi.com says
bener ni, hak anak tetap harus diberitahukan
Yati Rachmat says
MakPon Mira Sahid, ada satu lagi yang kurang. Ini: Alangkah baiknya dibuat jadwal untuk merajut kebersamaan bersama — anak-anak, Moma dan Sang Mantan. Cairkan suasana yang beku. Usahakan anak-anak merasa bahwa mereka masih memiliki suasana kebersamaan layaknya keluarga yang lengkap dan tak terpisahkan, walaupun hanya sesekali. Hal ini bisa membuat mental mereka bertambah kuat. Anak-anakku telah mengikkuti nasehat ini dan berhasil dengn sukses.