“Bagaimana Aku melawan cemas ini?”
“Nanti, bagaimana kalau keadaannya semakin parah?”
“Lalu, bagaimana aku harus menyambung hidup? Pekerjaan tidak ada, teman-teman entah kemana.”
“Aku khawatir, pasanganku tidak bisa memahami keadaanku.”
“Cemas, aku sangat cemas!”
Setiap dari kita tidak mungkin tidak merasakan cemas dalam hidupnya, pelbagai hal bisa menjadi pemicu kecemasan, baik yang sifatnya kecil maupun besar. Namun, kadangkala kita tidak memahami, semakin kita masuk dalam keadaan cemas, maka kita jualah yang menciptakan suasana yang tidak menyenangkan. Padahal, jika saja kita bisa mengolah cemas tersebut dengan kesadaran diri, maka kita akan tersenyum menghadapinya. “ah, ya kan enggak semudah itu, Mir.” Iya, untuk itulah ada yang namanya berlatih. Aku pun sama, mengadapi rasa cemas yang datang silih berganti memang bukan perkara mudah, butuh dilatih berulang-ulang, hingga pada akhirnya kita menyadari bahwa cemas adalah bagian dari perjalanan kita.
“Mama, sedang sibuk, enggak?” Tanya anakku di pesan whatsapp
“Enggak, kenapa sayang?”
“Kakak telepon, boleh?”
Tanpa menjawab pesannya, akulah yang membuka percakapan via telepon kala itu. Posisiku saat itu sedang di Bandung, menandatangani buku Secangkir Syukur yang sudah terbit dan siap dikirimkan kepada teman-teman yang sudah memesan.
Dengan nada lembut aku menyapa putriku, “Assalamualaikum, sayang. Kenapa, nak?” Sebuah sapaan penuh kasih sayang yang kerap kali kuberikan pada kedua anakku. Dengan nada perlahan, putriku berusaha menceritkan sebuah hal, suaranya terbata, hingga terpotong-potong bersahutan dengan isak tangis mengiringinya. Ia mengatakan dengan berat hati, bahwa saat itu ia sudah dinyatakan positif terpapar Covid-19. Bagai disambar petir siang itu, aku yang sedang sukaria atas terbitnya buku perdanaku, langsung merasakan sesak, dan kepala rasanya berat sekali. Namun aku sadar, putriku di ujung telepon sana pun sudah sangat berat menerima kondisi ini. Meski dengan segala rasa kaget, sedih, dan lainnya, aku berusaha tetap tegar untuknya. Dalam hati aku berujar “Ya Allah, qadarullah, Engkau pilih putriku untuk menghadapi ujian ini. Dan aku percaya Engkau akan menjaga, melindungi dan memberikan ia kesehatan kembali seperti sedia kala.”
Dengan segala harapan yang berbalut perasaan kalut saat itu, aku menguatkan putriku, bahwa semua akan baik-baik saja, kakak akan sembuh dan beraktivitas seperti sediakala. Dan setelah obrolan di telepon dengan putriku kala itu, aku mempersilakan diri untuk menerima segala rasa. Hal pertama, tentunya, aku menangis. Untung saja, di restoran kala itu sedang sepi, hanya aku yang ada di lantai bawah. Berteman pemandangan Bandung yang cukup tentram, aku pejamkan kedua mata sambil berdialog dengan diri sendiri.
“Aku tau, kadang bahagia bisa datang bersamaan dengan kesedihan. Hari ini, aku berbahagia atas terbitnya buku perdanaku, hari ini juga aku mendapat kabar sedih tentang anakku.” Beruntung respons mesin dalam diriku memang selalu melibatkan rasa. Sehingga, aku segera menelaah segala rasaku, mulai dari rasa sedih, marah, kesal, khawatir, dan juga cemas. Ok, bersedihlah Mira, terima rasa cemasmu, supaya kamu tau harus melakukan apa setelah ini.” Iya, perasaan dominanku mengatakan, sedih dan cemas adalah yang perlu kuterima saat itu.
Saat ini, sudah 6 hari putriku mendapatkan perawatan di Wisma Atlet Kemayoran. Dan harapan besarku, putriku bisa segera pulih dan bisa berkumpul kembali dengan keluarga yang menyayanginya tanpa batas. Aku percaya, doa sederhana yang mungkin bisa teman-teman panjatkan untuk kesembuhannya, bisa membuatnya kuat dan bertahan, sehingga anakku bisa sehat dan beraktivitas kembali. Terima kasih ya, teman-teman, sudah mendoakan.
Melawan dan Berteman Dengan Rasa Cemas
Ibu mana, yang mengetahui putri sulungnya sakit dengan penyakit yang bisa mematikan, Covid, dan tidak merasakan kesedihan. Saya percaya, setiap keluarga ingin bagian satu dan lainnya dalam keadaan sehat. Dan ketika ada satu anggota keluarga sakit, tentu seisi keluarga pun akan turut cemas. Begitupun aku yang sudah hampir seminggu ini diliputi rasa cemas. Setiap saat memikirkan kondisi anakku di sana, apakah dia kesepian? Apakah dia sudah makan? Apakah dia kesakitan? Kapan ya, anakku bisa segera keluar dari sana? Dan segala kecemasan lainnya. Rasanya, hari-hariku berat sekali kujalani. Rasa marah pada virus yang bernama COVID ini, seolah terus membuat pikiranku mengutuknya.
Menyadari rasa cemas kerapkali menganggu segala rasa dan pikiranku beberapa hari lalu, aku melawannya dengan melatih rasa cemas dengan terus berdialog. Hari pertama dan kedua ankku di RS, aku masih sangat cemas, hari berikutnya, mulai bisa kuterima dengan baik. Aku melihat senyum di wajah putriku melalui video call, kami berbicara, bercanda, dan saling melepas rindu. Putriku memang kuat dan mandiri sejak kecil, dan dia membuktikan hingga kini, dalam kondisi ini, bisa melewatinya. Semangat dalam dirinya jualah yang akhirnya mulai membuatku berpikir bahwa, “Inshaallah, semua akan baik-baik saja, kamu hanya cemas saja kok, Mir.” Hingga hari kemarin, putriku mengabari bahwa penciumannya mulai normal, hanya saja, indera pengecap belum sepenuhnya kembali. Alhamdulillah, perkembangannya semakin baik setiap hari.
Rasa cemas memang bisa menjadi musuh telak bagi kejiwaan manusia. Semakin rasa cemas itu membawa seseorang pada kecemasan berlarut, maka kemungkinan akan semakin stress, bahkan depresi. Maka, berlatihlah untuk mengontrolnya, berdamailah dengan kecemasan itu, yakini dan percaya, bahwa setiap masa akan berganti dan berlalu. Aku pun meyakini, masa ini akan berlalu, semua akan kembali baik. Dan aku hanya perlu meyakini saja, maka semua akan baik-baik saja. Aamiin, Inshaallah.
Sederhananya, cemas memang bukan untuk dilawan, namun diterima dan diolah. Anggap saja cemas adalah alarm agar kita mawas diri. Agar kita kembali menata hati. Menyadari kecemasan, tentu bisa membuat diri kita untuk introspeksi.
Buat kamu yang mungkin saat ini sedang merasakan kecemasan, tidak apa-apa, itu tandanya hatimu sedang bekerja. Beberapa tip dari pengalamanku, mungkin bisa menjadi acuanmu dalam melawan cemas, atau berdamai dengannya.
- Sadari saat cemas datang, rasakan bagian mana yang ingin kamu beri perhatian. Misal, ingin nangis, ingin dipeluk, ingin diajak berbicara, ingin ditenangkan, atau hal lainnya. Jika cemas terasa terlalu berat, maka pilihlah seseorang yang bisa membantumu untuk menerima rasa cemas itu.
- Biasanya, setelah respons pertama ketemu, maka di situlah nalar mulau berjalan, setidaknya, kamu mulai bisa berpikir, “what’s next.”
- Ajak diri untuk terus berdialog, bahwa kecemasan ini hanya perasaanku saja, hanya pikiranku saja, hanya imajinasiku saja, kecemasan ini tidak terbukti. Jadi, tenang, ya.
- Beri solusi pada kecemasan tersebut. Ini lebih kepada meyakinkan diri bahwa pihak kedua yang kita cemaskan, atau kondisi yang kita cemaskan akan selalu menemukan solusinya, dan akan tertangani dengan baik
- Beri ruang untuk diri melakukan kalibrasi dalam menghadapi kecemasan tersebut. Apakah mau jalan-jalan tipis, bertemu kawan, melakukan aneka hobi, atau apapun itu yang bisa membuatmu tenang
- Terus berdoa, dan yakinkan diri dengan keimanan, bahwa tidak ada sebuah kondisi yang Tuhan takdirkan melebihi kemampuan kita dalam menghadapinya, Iya, ada Allah Swt, ada Tuhan YME, nggak usah khawatir, ya. Masa ini akan berlalu.
Tentu saja, setiap orang akan berbeda pengalamannya. Jika ada pengalaman lain yang bisa teman-teman tambahkan dalam melawan cemas, silakan memberi komentar, ya. Semoga apa yang dibagikan bisa menjadi manfaat bagi siapapun yang membacanya.
Terima kasih, cemas. Karenamu aku kembali berproses, aku terus menata hati, dan mengolah rasa. Tetap sehat jiwa dan raga, hingga kita tau, bahwa rasa syukur itu, dekat, bahagia itu tak pernah hilang. Thank You I Learn.
Prima says
Salam kenal & semoga ananda, putri mbak Mira diberi kekuatan dan kesembuhan ya.
Menyoal rasa cemas, saya sendiri baru-baru ini mengalami sebuah kejadian yang tidak menyenangkan dan lebih dari cukup untuk menciptakan kecemasan dalam diri saya.
Apa yang saya lakukan dengan kecemasan ini adalah, pertama melihat ke atas, lalu meyakini bahwa segala sesuatu yang saya alami, menyenangkan atau tidak, adalah atas izin-Nya. Dan, Ia mengizinkan karena Ia pasti menyiapkan sesuatu yang indah di akhir cerita.
Setelah itu, saya berdoa meminta kesabaran dan petunjuk, sambil mulai memikirkan opsi yang bisa saya lakukan.
So far sih it works. ?
Mechta says
Terima kasih, Mba Mira.. Tipsnya untuk menerima dan meredakan cemas ini insya Allah sangat bermanfaat, karena cemas adalah salah satu yg sering kita temui ya.
Diah Alsa says
semoga anaknya cepat sehat seperti sedia kala ya Mbak, Aamiin.
melawan cemas ini memang PR ya Mbak, tapi harus kita lawan ya dengan berpikir positif dan juga berdoa, karena Allah ngasih cobaan/masalah pasti sepaket dengan solusi ya Mbak 🙂
nita juwithafina says
Mba Miraaaa peluk aku terenyuh membacanya..sungguh ketegaran yang luar biasa. Bahkan sekarang bisa membagi tips nya. Aku catet ni mba.. suatu saat aku butuh aku tinggal buka kamus ini mba.. Salam buat ananda ya mbaa…. semangat mbaa
Ghina says
semoga lekas sembuh ya mba mira untuk putrinyaaa. Mbak mira pasti cemas sekali ini, saya turut mendoakan kesembuhan putrinyaa.
Benar sekali, aku pernah juga merasakan hal itu, cemas berlebihan. Dulu aku sepertinya orang yang sangat overthinking terhadap masa depan bahkan untuk esok hari sekalipun, di suatu momen aku ditemukan dengan sebuah petuah dari salah seorang guru yang mirip dengan sebuah lagu, badai pasti berlalu. lalu setelah kutimbang-timbang, kalau aku menerima dan menghadapinya, memang pasti akan terlewati, dengan hasil sesuai usaha kita, ya mba mir.
Antung Apriana says
Terima kasih tipsnya, mbak. Memang kalau cemas melanda itu bisa bikin kita jadi over thinking yaa. Semoga putrinya lekas sembuh juga, mbak
Hida says
Kebayang ya mbak dengar kabar kalo anak sendiri terpapar virus corona apalagi tinggalnya berjauhan duuh rasanya pasti gak cuma cemas tapi juga sedih. Semoga semua kembali normal dan sehat selalu ya, mbak.
Shyntako says
Kalo kecemasan kita sudah berlarut dan dirasakan sudah menganggu aktivitas kita, menurutku baiknya kita konsultasi dengan psikolog or psikiater, karena gangguan kecemasan juga merupakan salah satu gangguan kesehatan mental.
Yang aku kesel ya mba, di Indonesia memang sih skrg sudah mulai aware sama isu mental health, tapi kadang suka gak enak aja denger orang komen yang malah membully orang dengan gangguan kesehatan mental seperti stres, or gangguan kecemasan dengan bilang mereka kurang imannya. Duh, literasi soal ini berarti masih kurang kayanya ya?
lendyagasshi says
Saat rasa cemas dibalut kesadaran penuh, alhamdulillah bisa menjadi afeksi positif yaa, kak Mira.
Syafakillahu untuk ananda.
Semoga Allah beri kekuatan dan kesehatan kembali sehingga setelah ini bisa menjadi donor plasma yang bermanfaat untuk banyak orang yang membutuhkan.
Qodarulloh wa masyaa fa’ala..
Zikri Fadhilah says
Aku sendiri sering merasa cemas justru karena terlalu perfectionist. Dan sebagai “lelaki” rasa-rasanya sering kali memendamnya sendiri karena katanya ya kalau lekai itu harus kuat dan tidak gampang ngeluh. Dan begitulah beberapa kecemasan sering berlarut bahkan sampai aku tidur. Terima kasih sudah menulis ini mba.