Saat menuliskan ini, telinga Saya terpasang headset dengan volume lebih keras dari biasanya. Lagu “Kamu Nggak Sendirian” dari Tipe-X kali ini, saya sengaja putar berulang-ulang. Bukan tanpa alasan kenapa saya memilih lagu yang lebih nge-beat dibanding lagu instrument yang biasanya jadi teman menulis kali ini. Adalah karena Saya mencoba menulis dengan riang, meski perlu saya akui, ada emosi yang sedang perlu saya beri ruang. Entah karena Saya ingin mengubah pola dalam menemukan bait-bait kalimat, atau boleh jadi, saya ingin menulis tanpa emosi lirih. Well, mari teruskan saja tulsan ini, meski ternyata, pikiran cukup riuh jadinya, untuk menyambung kata menjadi kalimat-kalimat indah, karena musiknya yang memekik telinga :)).
Saya sedang mengingat-ingat sebuah momen ketika saya baru saja kembali dari dinas luar kota yang berturut-turut. Alhamdulillah, sampai saat ini Allah masih memberi peran dan pekerjaan yang saya nikmati sekali prosesnya. Kerja sambil jalan-jalan, dari kota satu ke kota lainnya. Ternyata, 2 tahun pandemi mengubah kondisi tubuh cukup signifikan. Sepengalaman saya sebelumnya, yang memang terbiasa “tukar koper” dan lalu pergi dinas lagi, fisik saya cukup bisa mumpuni melakukan dinas-dinas luar kota. Tetapi persis sejak lebaran idulfitri tahun ini, begitu panggilan dinas luar kota datang, dengan rentang dinas kurang lebih 5 hari, saya merasa fisik cukup terkuras. Apalagi berpindah dari kota satu ke kota lain. Dan ya, saya mengakui, capeknya pol.
Saya sempat berkata pada diri sendiri, “ah, capek begini mah, biasa dan bisa saya tangani, karena saya happy dengan pekerjaan ini.” Lalu, ada malam-malam ketika satu-dua hari acara dinas berjalan, saat malam hari menjelang tidur di hotel, barulah emosi ini berulah. Saya bisa menangis di kamar mandi, atau dalam doa menjelang tidur. Tetapi, lagi-lagi, saya pikir dengan menangis, ini jadi jalan pintas atas emosi yang saya rasakan. Dan memang benar, itu jadi obat. Tapi kok ya ternyata, hal itu berulang. Setiap dinas, ada saja satu malam tangisan itu muncul lagi, meski sekadar lirih dalam hati. Mulailah saya mencari tau, apa sebenarnya yang saya inginkan dari emosi-emosi yang muncul dalam bentuk tangisan ini. Berbekal ilmu LIO (Leadership Inside Out) dari seorang Guru, saya belajar untuk tidak serta merta melabeli emosi saya dengan kata “sedih, kesal, marah, capek, kangen, atau apapun itu,” sampai saya benar-benar tau apa nama dari emosi ini.
Setelah menangis dan menerima emosi yang hadir, barulah saya memberi nama terkait emosi itu. Dan jawabannya bervariasi. Ada yang benar-benar karena merasa capek fisik, ada juga karena rindu sama anak-anak, ada juga karena rindu sekadar dipeluk, bahkan kadang tanpa jawaban sama sekali. Dari momen-momen itu saya semakin menyadari, “oh, iya, saya ini masih manusia biasa,” yang kadang bisa naik turun emosinya, dan akhirnya perlu saya terima secara sadar.
Tetapi, apakah proses-proses menemukan jawaban itu bisa saya lakukan sendiri? Sebenarnya bisa, dan memang perlu seperti itu. Tapi nyatanya, saya masih butuh stimulus dari eksternal. Beberapa waktu saya mencoba menghubungi teman baik, atau video call anak-anak ketika emosi itu muncul. Sepengalaman saya, itu juga membantu saya dalam menyadari emosinya. Bahkan, ada beberapa waktu, hingga perjalanan pulang ke rumah pun, emosi itu nampaknya betah sekali menemani saya. Lalu, apa yang saya perlu lakukan? Saya berpikir, “mana mungkin saya pulang ke rumah dengan wajah muram. Nanti anak-anak akan bertanya-tanya, kenapa mamanya terlihat murung atau bersedih.” Akhirnya pada momen itu saya memutuskan membiarkan saja emosi itu ikut saya sampai pulang.
Tiba di depan pagar rumah, saya tau kedua anak saya akan menyambut dan membukakan pintu. Dalam keadaan masih berbalut emosi tak jelas, saya masuk dan mengucapkan salam. Saya ingat sekali, Zahran membukakan pintu pagar dan rumah, kemudian berbalik mengunci kembali. Berjalan memasuki area rumah, Kakak Vinka sudah berdiri menyambut saya, memberikan senyumnya. Dan tau apa yang terjadi? Seperti seolah semesta telah berbisik kepadanya, Saya menghampirinya, menanggalkan tas dan koper, lalu mendekatinya seraya memeluknya. Tanpa banyak kata, Kakak Vinka balik memeluk saya seraya berkata lembut sambil berbisik dan menepuk punggung, “Mama, you’re great! Mama capek ya. It’s oke, Mama sudah berjuang. Mama, you did well!”
Runtuh semua emosi yang menempel selama perjalanan dinas, air mata rasanya mulai tidak bisa saya tahan lagi. Saya menghela napas dalam, sedikit mengeluarkan airmata. Rasanya tak tega jika harus terseguk-seguk di depan anak-anak. Saya luluh, dan kemudian menyadari. “Pelikku usai dengan pelukmu” – anak-anakku. Malam itu, menjadi malam yang paling indah selama saya kembali perjalanan dinas luarkota. Mashaallah. Untuk mereka saya berjuang, dan mereka jua yang menguatkan saya dengan cara yang istimewa.
Saya percaya, bahasa cinta setiap orang akan berbeda-beda. Untuk saya pribadi, bahasa cinta terindah adalah cinta kasih, sentuhan dan pelukan yang menenangkan dari orang yang saya kasihi. Dan cinta kasih itu melekat di keseharian saya, anak-anak yang beranjak dewasa serta remaja, yang semakin hari, sepertinya semakin bisa menjadi teman berjuang di kehidupan ini.
Terima kasih ya, Nak. Kadang mama luput ingat, bahwa kalian bukan lagi anak kecil, yang ketika Mama merasa lelah, mama perlu bersikap tetap kuat di depan kalian. Tetapi, kini Mama bisa menjadi diri Mama sendiri, yang ketika mama butuh cinta kasih, Mama tak perlu sungkan berbagi emosi ini dengan kalian, karena kalian bisa mengerti apa yang mama butuhkan. Dan syair dari lagu Tipe-X ini diantaranya ; “Percayalah padaku, meski di gelap malam, kamu nggak sendirian. Dan semua bintang yang kutinggalkan, temani kau sampai akhir malam”, adalah syair yang menguatkan. Kini, dan nanti, kapan dan dimana pun, Mama akan selalu ingat, bahwa mama nggak sendirian menjalani hari-hari Mama. Mama pun akan selalu ingat, pelukan hangat kalian, yang selamanya akan melekat dalam setiap emosi Mama. Love you, Nak.
Terima kasih Tipe-X dan Fiersa Besari untuk lagu “Kamu Nggak Sendirian,” dan “Pelukku Untuk Pelikmu” yang syairnya menjadi magnet dalam memberi kekuatan. Karya kalian akan abadi, syair-syair indahnya, akan membantu saya, dan boleh jadi jutaan manusia ini kembali bangkit di masa-masa tersulitnya. Dan tentunya, menjadi inspirasi dalam tulisan kali ini.
yekti says
aku iri sama Mbak MIra. bisa menuliskan isi hati dengan detail. peluk dari jauh untuk Mbak Mira. aku juga pernah diposisi seperti yang mbak MIra tuliskan. tapi aku belum bisa mengungkapkan dengan runut dalam tulisan. tertulis alakadarnya di blog yang aku buat. ini semoga jd sharingku dan sekaligus ijin sama Mbak MIra. Aku baca tulisan mbak Mira, meski nggak sering tapi tiap aku ingin belajar nulis, aku baca. berulang kali sampai aku paham alurnya dan ada yang aku temukan di tulisannya Mbak MIra.
tapi tetap masih belum bisa seperti yang aku mau.
hehehe lha wong karena belajar nulisnya nggak tentu waktunya.
semoga Mbak Mira membalas komen ini hehehe
Salam tetap semangat!!! 🙂
Mira Sahid says
Hai Mba Yekti, terima kasih ya sudah berkenan mampir dan baca-baca tulisanku. Memang sepengalamanku, menulis sesuai dengan yang diinginkan butuh proses dan latihan terus. Kekuatanku ada alam tulisan-tulisan seperti ini, maka aku fokus di karakter seperti ini saja. Jika disuruh menulis jurnal serius banget, tentu aku butuh effort lebih banyak. Semoga dengan menulis, bukan hanya tentang jari-jari yang bergerak, tetapi emosi juga terolah dengan baik. 🙂
Ranny says
Kadang anak-anak itu di luar dugaan kita ya, makpon. Mereka selalu menghadirkan kejutan dan kehangatan yang nggak pernah disangka.
Semoga sehat selalu ya, makpon. Semangatt.
Mira Sahid says
Aamiin, terima kasih mak Ran. Sehat selalu juga untukmu yaa sayang :-*