“Terima, terima, terima, terima!”
Kala itu, hening hadir diantara puluhan perempuan, hanya terdengar suara seseorang menuntun rasa kami untuk kembali ke diri, pulang ke diri sendiri, dan memunculkan kembali rasa cinta kepada diri sendiri. Adalah mas Adji Santosoputro, yang kala itu hadir di tengah-tengah para ibu tunggal, dalam acara 5th anniversary komunitas Single Moms Indonesia. Dalam peringatan dan syukuran komunitas yang didirikan oleh Maureen Hitipiuw sejak tahun 2015 ini, sepertinya sesi self love akan selalu melekat dalam setiap aktivitasnya. Saya pikir itu baik. Karena dengan perkembangan member SMI sendiri yang menurut saya sangat signifikan pertambahannya, maka sesi self love atau self healing ini adalah penting untuk terus diadakan. Jangankan yang baru mengalami fase perpisahan, yang bertahun-tahun saja, masih butuh ruang untuk kembali diingatkan betapa pentingnya kita kembali ke diri sendiri, mencintai diri sendiri.
Nah, soal self love atau mencintai diri sendiri ini, lagi-lagi… mengapa saya menyasar bahasan ke ranah perempuan. Seperti tulisan yang saya pos sebelumnya, perempuan memang gudangnya ‘baper.’ Sekuat-kuatnya seorang perempuan, ada kalanya ia juga butuh untuk mengungkapkan atau melepaskan apa-apa yang membuat rasanya tak nyaman.
Saya memiliki sahabat-sahabat dan teman-teman yang kerap kali bertukar cerita atau pikiran. Pada tiap kisah, saya mengambil benang merah, bahwa mereka terlalu sibuk memberikan perasaanya kepada orang lain, sehingga saya atau mereka lupa bagaimana kembali mencintai diri sendiri. Seorang istri/ ibu yang setiap hari melakukan tugasnya dari pagi hingga malam, semua dilakukan karena perempuan memang memiliki kemampuan itu, ditambah lagi, perempuan kan memang gudangnya cinta. Otomatis, dalam lelahnya sekalipun, ia akan tetap berupaya mencintai dan membahagiakan orang-orang yang dikasihinya.
Sayangnya, karena perempuan kerap kali melakukannya, ia pun bisa jadi berlebihan terhadap ekspektasinya. Sehingga, hatinya seperti tulang kering, yang kapan saja bisa patah apabila hal-hal yang diharapkannya tak sesuai dengan maunya. Lalu kemudian, karena egonya pun semakin membuncah, membuat hati dan pikirannya tak berfungsi sebagaimana mestinya. Menyalahkan keadaan, menyalahkan orang lain atas sebuah kondisi, merasa diri tidak berguna, merasa lemah, dan banyak hal lainnya. Saya rasa itu adalah efek dari kurangnya perempuan peka terhadap dirinya sendiri (cmiiw). Enggak heran, kita sering menemui berita-berita terkait perempuan stress, atau melakukan hal-hal nekat, minimal yang sering ditemui adalah status-status yang ‘asal jeplak’ di media sosial. Terlihat sederhana, namun bisa berdampak besar bagi kerugian dirinya sendiri.
Ok, bagaimana dengan saya pribadi?
Sama! Saya masih manusia, yang kadang antara rasa, pikiran, dan kemauan masih belum selaras. Tapi saya belajar terus, mencoba memperbaiki terus dengan segala kemampuan saya. Karena ternyata, rasanya capek juga terus-menerus mengeluarkan energi, berusaha untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang yang disayang, berupaya terus ingin memperlihatkan bahwa saya mencintai mereka. Padahal, saya sendiri juga butuh kasih sayang, butuh disayang, butuh dicintai. Saya percaya bahwa anak-anak, orangtua, sahabat-sahabat, mereka semua menyayangi saya. Tetapi ketidakpekaan saya terhadap mencintai diri sendiri ini yang justru malah tidak melihat itu bagian dari anugrah. Saya lupa, dari atas sampai bawah tubuh saya, sangat layak untuk saya cintai sebelum saya memberikan itu pada orang lain.
Dear perempuan, ayo kita pulang! Pulang ke diri sendiri, meski tertatih, atau berjeda. Karena tidak ada pulang yang lebih menyenangkan, selain mampu pulang ke diri sendiri. Melepaskan semua ego, atau tepatnya mengolahnya, agar hati kita bisa bekerja dengan baik, di tempat semestinya.
Ada beberapa hal yang biasa saya lakukan untuk bisa berproses pulang ke diri sendiri :
- Karena saya muslim, tentunya lebih mendekatkan diri pada yang di Atas, muhasabah diri
- Saya biasa menuliskan apa-apa yang ingin saya ungkapkan di jurnal harian saya, atau di blog
- Saya lakukan meditasi, atau self healing dengan yoga
- Mengurangi ekspektasi pada makhluk, karena ini yang kerap membuat ego tak bisa menerimanya
Khusus untuk poin ketiga, ini memang yang memerlukan waktu lebih lama, alias leluasa. Karena dalam healing ini, saya lakukan mulai dari mengolah teknik pernapasan, fokus hanya pada pernapasan seperti saat memulai yoga, setelah tenang, saya mulai proses berbicara dengan diri sendiri. Menyapa diri, mengeluarkan isi hati, menerima segela ungkapan hati, lalu mengafirmasikan segala sesuatunya dengan baik. Dan di sesi ini saya biasa menekankan kepada diri, bahwa “saya istimewa, saya adalah pribadi yang menyenangkan, saya penuh cinta dan selalu dicintai.” Pokoknya semua afirmasi positif hingga ke harapan-harapan yang ingin saya capai, dan terakhir ucapan terima kasih kepada diri sendiri.
Bagi yang jarang melakukannya, ini akan terasa aneh, sih. Tapi kalau dicoba beberapa kali, Inshaallah akan menemukan kenyamanan, dan menemukan bagian-bagian apa yang bisa kita damaikan bersama ego kita. Kita adalah perempuan yang berlimpah cinta dan kasih sayang, jangan lupakan itu. Mari kita kembali mencintai diri, pulang dengan sebaik-baiknya penerimaan.
Uli says
Good thought mbk..inshaallah kalo kita mampu menguasai diri maka mudah mengendalikan org2 disekitr kita
Dwi Wahyudi says
Salut buat Kakak, selalu tetap bisa menginspirasi apapun kondisinya.
ainun says
iya kadang saya juga merasa kurang mencintai dan menghargai diri sendiri,belajar untuk menjadi “sempurna” juga tidak mudah