Sebuah pertanyaan tentang Broken Home, tiba-tiba saja tercetus dari anak lelakiku bungsu kemarin.
“Mama, broken home itu, apa?”
Untuk anak di usia SMP, sebenarnya saya tidak terlalu kaget mendengar pertanyaan tersebut, apalagi datang dari anak sendiri. Namun saya sadar saat itu, bahwa pertanyaan ini tidak bisa langsung dijawab dalam keadaan kurang kondusif. Apalagi saat itu, kami hendak bergegas menuju suatu tempat.
“Nanti Mama jawab kalau sudah sampai tujuan, ya.”
Anakku cukup memahami kondisi saat itu, dan tidak memaksa Mamanya untuk segera menjawab.
Jujurnya, meskipun saya tidak kaget dengan pertanyaan tersebut, tapi selama perjalanan saya mencoba memikirkan jawaban yang paling pas untuknya. Karena apa? Anakku ini tipe yang bisa menyerap sebuah jawaban / informasi dengan otak kiri atasnya (Thinking), yang artinya setiap jawaban harus ada jawaban sebab akibat, runut, detail, dan jelas. Dan selama perjalanan itulah, saya terus berpikir, mengingat perjalanan 5 tahun menjadi seorang Ibu tunggal ini bisa saja memunculkan banyak kemungkinan. Salah satunya, kemungkinan anak merasakan broken home.
Broken Home
Dari situs Google, saya menemukan pengertian Broken Home, bahwa ini “merupakan istilah bagi sebuah keluarga yang orang tuanya telah bercerai. Istilah broken home mulai muncul dalam Bahasa Inggris pada sekitar tahun 1800-an dan mulai dikenal oleh masyarakat pada awal abad ke-20. Orang tua memiliki alasan mengapa memilih untuk berpisah”
Broken home merupakan kondisi saat keluarga mengalami perpecahan dan terputusnya struktur peran anggota keluarga yang gagal menjalankan kewajiban dari peran mereka. Contohnya, orangtua sering bertengkar sehingga struktur keluarga tersebut tidak sehat lagi secara psikologis.
Dari kedua pengertian tersebut, poin kedua menurut saya lebih mudah dipahami. Hal ini menekankan pada bagaimana struktur peran keluarga yang saling memengaruhi, terkhusus orangtua. Bisa jadi, meski orangtuanya tak bercerai, namun ketika peran orangtua yang terlihat hanyalah memunculkan konflik di ranah keluarga, tentu ini bisa memengaruhi tumbuh kembang anak, termasuk psikisnya.
Sebagai pasangan yang telah berpisah, dan kini status saya sebagai Ibu tunggal, memang, hal ini yang paling saya khawatirkan. Karena bagaimanapun, anak-anak mulai kehilangan sosok Ayah di rumah. Dan perjalanan 5 tahun ini benar-benar menjadi proses untuk terus mencari pola parenting yang pas untuk anak-anak. Untuk itulah, saya bergabung dengan komunitas Single Moms Indonesia, seringkali juga mengikuti rangkaian seminar parenting dari Sejiwa, STIFIn, atau banyak lainnya. Meskipun penerapan pola asuh itu akan kembali kepada masing-masing pribadi orangtua, namun dalam kondisi saya, tentu saya perlu ilmu yang terus beradaptasi pada perkembangan jaman. Saya perlu support system yang bisa membuat saya terus berkembang, fokus pada ke depan, termasuk fokus juga bagaimana bisa menjadi Ibu yang menyenangkan bagi kedua anak saya.
Setelah suasana kembali nyaman dan kondusif, akhirnya saya pun menjawab pertanyaan si bungsu selang 2 hari dari momen ia tanyakan. Hihihi, ini saya sengaja menunda sampai dapat momen yang pas. Dan ternyata, ketika saya dan si kecil menonton film “It’s Oke Not To Be oke” secara bersamaan, di episode ketiga ada bagian yang pas untuk saya jadikan contoh dalam memahami kondisi broken home tersebut. Well, jawaban saya terasa mengalir, dan Zahran sepertinya cukup memahami apa yang saya sampaikan. Pola pengulangan kalimat yang selalu saya minta ke anak-anak saat mendengar nasihat atau diskusi bersama, adalah tolak ukur buat saya pribadi, apakah si anak memahaminya atau enggak. Dan ketika saya tanya kembali apa itu broken home, Zahran cukup bisa menerjemahkan apa yang saya sampaikan. Lega rasanya.
Tidak Ada Anak Yang Broken Home, kalau…
“Sekarang Mama tanya, apakah kamu berpikir, bahwa kamu adalah Anak broken Home?”
Pertanyaan terakhir yang saya lontarkan kepada Zahran sebelum menutup sesi diskusi siang ini. Dan jawaban Zahran,
“Enggak, Ma”
Alhamdulillah. Semakin lega, saya percaya bahwa kedua anak saya bukanlah anak broken home meski orangtuanya telah berpisah.
Saya menekankan sama Zahran, kalau broken home itu bisa terjadi jika anak kehilangan perhatian dan kasih sayang dari keluarga, terkhusus Ayah Ibunya. Tapi Mama dan Ayah sampai saat ini kan, ada untuk kamu dan kakakmu, Ayah dan Mama nggak akan berhenti memberi cinta dan kasih sayang kami buat kalian. Mama percaya, anak-anak Mama bukan Anak broken Home karena kalian lahir dari hasil cinta kasih yang tak terputus hingga kini. Jadi, kalau ada yang bilang atau ngatain kamu sebagai anak broken home, kamu bisa jawab dengan tegas, “Aku bukan Anak Broken Home.” Karena, menjadi siapa kamu, dan dilihat sebagai siapa kamu kelak, kamu sendiri yang menentukan. Katakan tidak pada hal-hal yang bisa menjerumuskanmu dalam suasana negatif, fokus pada kebaikan.
Seperti itu yang saya sampaikan pada Zahran. Tugas saya sebagai orangtua tentu harus bisa melakukan pola pengulangan untuk mengingatkan hal-hal seperti ini. Karena kenyataannya, ia masih usia remaja yang akan terus bertumbuh menghadapi berbagai tantangan hidup. Semoga anak-anak tetap bisa menjaga pribadinya dengan segala kebaikan, semoga mereka mampu membentengi dirinya dari hal-hal yang dapat merugikan dirinya sendiri. Tak putus, doa orangtua menjadi pertahanan yang harus terus dibangun, selamanya. Inshaallah.
“Menjadi Orangtua adalah profesi yang paling tidak dipersiapkan. Untuk itu, bertumbuhlah menjadi orangtua yang selalu beradaptasi dengan segala perubahan jaman, dan didiklah anak-anak sesuai dengan masanya. “
Mechta says
Terima kasih, mba Mira untuk sharingnya ini. Izin simpan quote “menjadi siapa kamu, dan dilihat sebagai siapa kamu kelak, kamu sendiri yang menentukan” . Insya Allah berguna sbg bahan nasehat ugk anak2 kami..
Mira Sahid says
Sama-sama, Mba. Aamiin.
Prima says
Selama ini saya tahunya broken home itu sebatas terkait dengan perpisahan suami & istri, dan mostly karena perceraian. Ternyata, nggak perlu berpisah ya untuk ‘mencetak’ keluarga/anak broken home.
Sesederhana salah satu pihak memutus peran, sudah cukup untuk membuat broken home.
Huff, jadi bahan intropeksi diri nih. Thanks udah berbagi mbak.
Mira Sahid says
Iya, maafkan jika saya salah. Tapi di era saat ini, banyak keluarga yang orangtuanya utuh, anak tidak sepenuhnya mendapatkan kasih sayang. Terima kasih sudah mampir ya
annisakih says
Mbak Mira, adik saya baru-baru ini berpisah dan kegalauan terbesarnya adalah soal putri kecilnya. Saya berusaha membantu sebisa saya, tapi karena kami tinggal berjauhan, saya pun kadang khawatir ada perkataan saya (via telfon atau chat) yang malah bisa membuat adik kurang nyaman.
Akhir-akhir ini saya sering mengikuti IG dan postingan2 mbak di Blog, rasanya saya jadi lebih tahu bagaimana cara saya menunjukkan empati yang “pas”. Makasih ya mbak
Hida says
Padahal walau hanya dengan satu orang tua atau orang tua yang berpisah gak serta merta jadi anak broken home ya, mbak? Yang penting gimana orang tua tunggal bisa nempatin perannya hingga anak gak merasakan kekurangan kasih sayang
Ira Hamid says
wahh saya baru tahu nih arti broken home yang sebenarnya. Selama ini saya tahunya, anak broken home adalah anak yang orang tuanya berpisah, ternyata saya keliru, yang benar adalah yang gak mendapat perhatian dari orang tuanya yaa. jadi bisa saja walau anak memiliki orang tua yang gak bercerai namun tidak mendapat kasih sayang bisa juga disebut anak broken home yaa
bunsal says
Diskusi yang indah.
Bahwa broken home memang tidak melulu karena orang tua yang single, tp sebagiannya adalah tentang menerima serta kebiasaan mengutamakan syukur.
Salam hangat dari Lombok ^^
@hm_zwan says
Alhamdulillah ya mak, anak anak bisa memahami kondisi ini. Terima kasih mak pon untuk sharingnya. Keponakanku juga mengalami hal yang sama. Alhamdulillah banyak kadih sayang dari kami keluarganya
Ghina says
Kayaknya aku pernah merasakan broken home, mbak. Bahkan sampai sekarang rasanya rindu pada suasana isi rumah yang dulu, bukan yang seakrang. Ingin rasanya aku mengangkut orang2 yang tersayang saja, karena jika aku mengunjungi rumah itu, bayangan indah banyak yang tertutup oleh kenangan buruk yang lebih membekas..Memang bukan tentang pasangan yang utuh semata ya mbak, tapi tentang pasangan yang hadir juga. Terimakash sharingnya mbak mira..
Hanifah Nila says
Mbak Mira hebat sekali dalam memberi penjelasan pada anak, semoga Ananda menjadi lelaki hebat kelak Karena memiliki kedua orang tua yang menyayanginya
lendyagasshi says
Kak Mira, mashaAllah…sungguh tenang dan bijaksana sekali ketika menjawab pertanyaan dari mas Zahran.
Semoga selalu sehat dan bahagia, bisa merasakan indahnya kasih sayang keluarga dan lingkungannya dengan tulus.
Akarui Cha says
Masya Allah Kak.
Sungguh bijak memberi penjelasan tentang broken home begini.
Iya ya. Walau kedua orangtua terpisah, anak nggak akan alami broken home kalau kasih sayang dari orangtua masih ada. Rasanya walau anak dengan kedua orangtua yang masih bersama pun berkemungkinan alami broken home ya.