“Ombak di lautan saja, bisa memecahkan batu di pinggir pantai, lalu, kenapa hatimu bergitu keras?”
Ini semacam pikiran yang kerap kali berlair-lari dalam otak saya. Saya sedang belajar memahami apa-apa yang saat ini Allah berikan kepada saya, terlebih lagi jika hal tersebut bertentangan dengan nurani saya. Well, bahasan kali ini ingin saya bagi, karena selama ini saya banyak belajar dari proses kehidupan, terkhusus dari segala kesalahan-kesalahan saya. Mulai dari proses yang bahagia, biasa-biasa saja, sampai proses terburuk menurut pikiran saya. Mulai dari terus menuntuk pihak lain untuk memahami saya, dengan kerasnya pikir dan mau saya, sampai akhirnya saya mulai sampai di titik, di mana saya HARUS belajar untuk memahami orang lain dan kondisi yang bertentangan dengan mau saya. Karena ternyata, hal tersebut jauh lebih bisa memberikan saya pembelajaran, terlebih proses tersebut adalah sebuah makna perjalanan yang bisa membawa muhasabah ke dalam diri saya sendiri. Mungkin…. Mungkin ya, inilah sejatinya kehidupan saya dimulai, saat saya mencoba menjalani konsep hidup dengan selalu menghadirkan Allah, Allah lagi, dan Allah terus. Insha Allah.
Peristiwa demi peristiwa dalam perjalanan usia saya ini, memang tidak sedikit. Banyak hal yang saya alami. Tidak melulu soal bahagia, bahkan soal air mata pun, banyak. “Yaelah Mir, semua orang punya masalah hidup, kali.” Betul, makanya saya ajak teman-teman untuk sama-sama me-review. Karena dari setiap peristiwa tersebut, yakin banget, ada makna dan pembelajaran yang kita dapatkan.
Contoh, kegagalan demi kegagalan, atau apapun hal yang menyakitkan yang saya terima, dulu saya anggap bagian dari ujian yang disebabkan oleh faktor luar juga. Sehingga, tidak jarang saya menyalahkan keadaan pada orang yang langsung menyakiti saya, atau protes pada Ilahi, astagfirulah hal adziim. Nah, yang berbeda dalam pemahaman saya kali ini adalah, justru semua yang saya terima itu, adalah bagian dari apa yang saya perbuat juga. Bukan karma, tapi rumus, “apa yang kamu tanam, itu yang kamu tuai,” saya yakini.
Semakin merasa tak nyaman, saya semakin merasa, bahwa ternyata dosa saya banyak. Karena Allah mendatangkan rasa sakit, sedih, terluka, tentu ada alasan tersendiri. Di sinilah peran muhasabah, sejauh apa kita pandai menangkap pesan itu. Saat hati sedang bekerja, apakah kita akan mengarahkan perasan tersebut dengan menyalahkan orang lain, atau memilih melakukan perjalanan ke dalam diri? Saya, atau teman-teman bisa menjawabnya sesuai dengan nurani masing-masing. Kalau memilih opsi pertama, yang saya rasakan, hanyalah amarah, dendam, dan semua hal negative. Sementara ketika saya arahkan menuju ke opsi kedua, Masya Allah… saya kadang kehabisan kata-kata, bahwa ternyata… cara Allah menyadarkan kita tuh, luarbiasa indahnya. Dari situlah, setiap kali Allah datangkan hal tidak nyaman, yang membuat saya sampai menangis sesegukan pun, saya melihatnya sekarang, itu sebuah bentuk dan cara Allah membimbing saya, agar menjadi manusia yang lebih baik.
Nah, ada enggak, dari teman-teman yang sampai saat ini menyimpan amarah, dendam, tidak mau memaafkan karena kesalahan yang dirasa, itu karena ulah orang lain? Saya yakin ada. Bahkan berbagi sumpah serapah pun menjadi keseharian lisan dan hati. Itu hak masing-masing. Dan seseorang pernah bilang sama saya, “hanya diri kamu sendiri yang berhak menentukan kamu bahagia atau tidak.” Sederhana, tapi itu benar adanya. Soal sakit hati, saya pernah sampai berada di titik terendah kehidupan saya. Lalu saya sadar, kan saya masih hidup, lalu kenapa saya harus merasa lemah terus-menerus? Karena ternyata semua energi negatif dalam diri yang dipendam lama itu, hanya akan membuat jiwa sakit, baik secara batin maupun fisik. Ya tapi gimana dong, rasanya sakit banget. Pokoknya gue enggak akan memaafkan sampai orang itu ngerasain rasa sakit yang gue rasakan! <- kalimat ini pernah saya utarakan juga. Tapi sekarang, bhay! Saya berterima kasih pada mereka yang telah mengajarkan saya.
Manusia memang diciptakan dengan semua rasa. Dari bahagia sampai dengki dan dendam. Saya yakin itu pun sebuah anugerah yang Allah kasih. “a gift.” Dan seorang teman juga pernah bilang sama saya, saat kamu merasa marah, kecewa, sedih atau luka teramat dalam, tak perlu dipaksakan untuk dihilangkan, karena itu bisa jadi bom waktu (seperti kayu patah). Sebaiknya semua rasa itu didampingi, diarahkan, agar bisa terlepas secara perlahan. Bukan berarti juga, bisa langsung hilang. That’s why ada yang namanya proses. Dalam proses itulah, ajak diri untuk terus berdamai, memperbanyak perjalanan ke dalam ruang diri sendiri. Capek juga kali, menyimpan energi negatif terus. Yes, ini masih self talk banget buat saya pribadi. Karena sampai saat ini pun, ada saja momen-momen ketika saya harus mendampingi berbagai rasa yang hadir karena sesuat hal yang tidak sesuai dengan mau saya.
Jadi, daripada mengutuk kegelapan, kenapa tidak coba menyalakan cahaya, meski hanya dengan sebuah lilin? Perumpamaan sederhana, tapi kalau dicoba, akan sangat memengaruhi cara kerja hati. Daripada terus memendam energi negative, lebih baik berdamai dengan diri sendiri, karena ternyata memaafkan itu menenangkan. Tapi semua kembali pada kesanggupan masing-masing. Sanggup memaafkan dan belajar memahami setiap ketetapanNYA, atau memilih berada dalam fase “caraku,” yang sudah jelas, tidak pernah sempurna. Benar itu hanya satu, yaitu milik Ilahi, sementara salah itu adalah bagian dari proses kita belajar sebagai manusia. Bukan tugas kita untuk men-judge “benar” atau “salah”, namun bagaimana kita berproses memahaminya, sebagai manusia yang bijak. Iya, belajar memahami.
Mohon dibukakan pintu maaf atas segala kesalahan dan kekhilafan saya, ya.
Saya menulis bukan untuk menggurui, hanya sekedar berbagi tentang apa yang saya maknai. Semoga berkenan. ?
Yos Mo says
Kalau dalam istilah gue,”memahami sesuatu dari 8 penjuru mata angin”.
maafkan aku yakk, telah mengotori lapakmu ini dengan komentar absurd.. hehehe
Mira Sahid says
hihihi, terima kasih sudah mampir, Yos
Dudukpalingdepan - enny says
Saya pun masih berusaha untuk berdamai dengan diri sendiri mba (:
Mira Sahid says
Jangan menyerah! Tetap semangat yaa
Hendra Surya says
“Saya menulis bukan untuk menggurui, hanya sekedar berbagi tentang apa yang saya maknai.”
saya suka quotes diatas, sangat menginspirasi, karena menurut saya menulis itu adalah media untuk berbagi passion, ilmu, pengalaman dan segala aspek tentang kehidupan kita.
Salam blogger..
Mira Sahid says
terima kasih mas Hendra
sunardi says
Terkadang memang kita selalu merasa sudah benar, agar tidak sakit hati kita harus bisa berdamai dengan keadaan, analisis diri dengan hukum sebab akibat. Mungkin kita begini karena sebelumnya kita begitu.
Mira Sahid says
Betul, mas. Saya sendiri sepakat dengan hukum sebab akibat
Pocong Imut says
Tulisannya selalu keren, menginspirasi dan bisa membawa pembacanya masuk dalam cerita (seakan akan lagi dengerin Mak Mir cerita secara langsung)