Pertanyaan ini masih berlari-lari di pikiran setelah memasuki usia 40. Menjalani peran ibu tunggal selama 6 tahun ini telah membentuk diriku bisa melakukan banyak hal sendiri. Mungkin ini juga yang dialami oleh kebanyakan ibu tunggal, dimana segala sesuatu yang tadinya tak tahu, kini menjadi tahu, berproses dengan waktu.
Aku terbentur dan terbentuk oleh segala proses di kehidupan ini yang membawa pada khayalan, harapan, tantangan, kekuatan, bahkan tak jarang juga pada pertempuran persoalan. Jadi, kalau kalian melihatku atau melihat ibu tunggal lainnya mandiri dan kuat (kuat banget sampai bikin insecure sebagian laki-laki, mungkin). Well, bahkan ketika kami tak ingin memilih ini pun, pada akhirnya ini adalah pilihan untuk kami jalani.
Ada sebuah konsep yang menyatakan bahwa, pada akhirnya kita memang akan sendiri, terlebih ketika meninggalkan dunia ini. Namun, apakah dalam kesendirian itu kita benar-benar sendiri? Sepi dan mungkin emosi dalam bentuk iri hati melihat pasangan lain begitu romantis, bisa saja menegaskan kalimat tersebut. Nyatanya, sendiri atau tidak, maknanya bisa jadi bias. Misalnya seperti ini : aku pergi sendiri ke kedai Saya Kopinuansa. Kemudian memesan kopi dan croffle, berteman buku dan laptop di hadapanku. Rasanya nyaman menikmati waktu me-time ini. Contoh lain, misal : Aku pergi ke kedai Saya Kopinuansa. Di sana kutemui banyak pengunjung lain saling bercengrama, riuh sekali suara canda tawa. Diantara keramaian tersebut, dan diantara beberapa teman yang kukenal di sana, mengapa aku merasa sepi? Bisa terlihat kah, beda makna keduanya? Jadi, ya… kita memang bisa benar-benar sendiri, atau justru kita sekadar merasa sendiri?
Perihal tulisan dengan judul ini, datang karena pertanyaan yang berulang, yang kuterima selama menjadi ibu tunggal.
“Kamu, nggak kepengen nikah lagi? Sudah mau 2022 lho ini.”
Sebuah canda, atau kuanggap itu sebagai sindiran, membuatku tersenyum simpul.
“Menikah?” tanyaku balik.
Seolah butuh mengulang jawaban template di setiap pertanyaan yang sama, kadangkala aku jeda sejenak. Membiarkan pertanyaan tersebut merasuk ke dalam nuraniku, sehingga aku pun merasa yakin akan jawabanku.
“Ya, aku tentu ingin menikah lagi. But first, fokusku kini sudah lebih spesifik kepada bagaimana aku menata diriku yang penuh dosa ini, menjadi pribadi yang jauh lebih baik. Kedua, fokus pada anak-anakku yang semakin remaja. Selebihnya, kuserahkan pada Allah saja yang menentukan. Ikhtiarku akan terus kulakukan sesuai kemampuanku.” That’s it. Kurasa jawaban itu cukup detail dan tak lagi berujung dengan pertanyaan lanjutan. Dulu-dulu kalau ada yang bertanya seperti itu, aku memberi jawaban lebih ekspresif, dan menyebabkan munculnya statement lanjutan tuh dari si penanya. Kaya gini : “Ih, makanya kamu jangan pilih-pilih dong.” Ok fine. Sampai situ aku tak pernah ingin meneruskan. Untuk apa membahas sesuatu dengan orang yang merasa pintar, bukan pintar merasa. Ini hidupku, aku paham dengan apa yang butuh kujalankan di kehidupan ini.
Apakah saya butuh menikah?
Jadi, menjawab pertanyaan dalam judul tulisan ini, saat ini aku sedang dalam fase menikmati hidupku. Mungkin ini juga menjadi penegasan bagi mereka yang kerap kali menyampaikan padaku ” Awas lho, jangan keasyikan lama-lama sendiri.” Hmm, menikmati kesendirian, jika itu baik untuk kesehatan mentalku, baik untuk proses menjalankan kehidupanku, kurasa tak ada yang salah juga jika aku masih menjalani status sendiri, atau bagi siapapun yang memilih masih sendiri saat ini. Aku pun memahami, menikah dalam agamaku adalah sebuah ibadah yang juga agung. Manalah mungkin aku menafikkannya. Inshaallah, doakan saja kelak Sang Pangeran itu dihadirkan sesuai dengan waktu yang pas menurut Ilahi. Karena jika aku terlalu berekspektasi tinggi berharap pada makhluk, bisa jadi perasaanku kembali terkoyak. Meskipun kemungkinan itu akan ada ketika aku menghadapi kenyataan dalam pernikahan lagi. Setidaknya, proses kesendirian ini mengajarkanku banyak sekali hal, yang mungkin tidak semua orang paham cara kerjanya. But it’s oke, aku tidak mewajibkan kalian untuk paham. Namun jika ada satu hal yang boleh kuminta, maukah teman-teman memberikan pernyataan dukungan dan kebahagiaan pada siapapun yang saat ini sedang sendiri, daripada sekadar menanyakan terus “kapan nikah, atau kapan nikah lagi?”
Walau kita tak pernah tau jawaban atas ketidakpastian di dunia ini, setidaknya kita punya kesempatan untuk menjalani peran sebagai manusia dengan penuh kesadaran. Sadar hati, bahwa empati adalah bagian yang layak kita bagi. Big hug to all single mom di manapun kalian berada. Be happy untuk siapapun yang memilih sendiri saat ini.
Disclaimer : tulisan ini atas latar belakang curhat sesama ibu tunggal
Endah says
Bagus mba ?
Sang Pejalan says
Sendiri adalah keniscayaan. Manusia dilahirkan sendiri (meski kembar, juga keluarnya masing²), dan kelak akan wafat dalam kesendirian. Bagi pasutri yang (masih) utuh, pasti berharap akan sehidup semati. Tapi apa bisa? Suami duluan atau istri duluan, who knows? Masing² harus bersiap menghadapi kesendirian. Saat anak² sudah dewasa, kelak mereka akan memisahkan diri, dan orangtua (lengkap atau tunggal) akan sendiri lagi. Sehingga, cara elegan bagi kita di akhir hidup ini … adalah menjadi pribadi terbaik, baik untuk diri sendiri maupun bagi orang² terdekat. Tentu saja, juga terbaik sebagai hamba-Nya.
Caroline Adenan says
Menikah adalah sebuah pilihan. Tergantung tiap pribadi memaknainya.
Tp alangkah baiknya segera menikah jika memang Tuhan sudah menetapkan jodoh buat kita. Jangan mendeny sih bahwa kita gak butuh.
Krn memang sejatinya kan Tuhan menciptakan manusia berpasang²an bukan? ? Dan supaya bisa menikmati hari tua juga bersama pasangan, saat anak² sudah mandiri dan menikah nantinya.
Kalau bukan menua bersama pasangan, sama siapa lagi dong? ?
Mira Sahid says
Thanks insignt-nya Oline
Cantika says
Semoga meski sendiri tetap dimudahkan ya mbak Mira
Mira Sahid says
Amiiin Yra
vani says
Lebih enak banyak bersyukur dan pasrah ya, Mbak. Bersyukur dulu pernah menikah, bersyukur saat ini sendiri dulu, dan bersyukur kalau Allah takdirkan menikah lagi. Pun bersyukur bila ternyata sampai ajal menjemput Allah tidak takdirkan menikah lagi. Selama semua proses hidup dijalani dalam kebaikan dan rasa syukur, serta pasrah akan takdir Allah, Insya Allah tidak ada yang buruk. Banyak orang yang menikah pun ‘makan hati’ selama pernikahannya, dan malah menjadikan ia sulit berprasangka baik pada Allah dan dirinya sendiri. Di mana ada rasa syukur, di sana akan selalu ada kebaikan, itu yang saya yakini.
Mira Sahid says
Terima kasih insight-nya, Mba. Inshaallah ikhtiar terus yaaa
Rahmawati says
Semangat mbak, semua jalan yang dipilih adalah baik
Mira Sahid says
Inshaallah
Dewi sudirman says
Dr awal kenal, selalu baca tulisan mba mira, baru kali ini komen soalnya sama dengan ku mba, karena hampir di usia 40 tahun, tapi belum menikah dan keluarga besar sudah malas2 an buat nanya “kapan menikah”, dan sudah bosan menasihati.. “kamu jng pilih2 suami, ga ada yang sempurna di muka bumi ini, sampai masalah badan pun jadi bahasan” kayaknya kalau anak gadis di usia 40 blm menikah itu selalu dipertanyakan segala hal, dan jawaban ku selalu satu ” kalau Allah SWT sudah bilang “saatnya kamu menikah dewi” maka tak ada satupun di muka bumi ini yang bisa menghalangi saya u menikah, begitu juga kalau Allah SWT belum saatnya. Ga ada satupun yang di muka bumi ini yang bisa memaksa aku menikah. Tugas Kita adalah berusaha untuk menjadi lebih baik lagi, menikah or tidak biar Allah yang ngatur.
Mira Sahid says
Peluk mba Dewi. Inshaallah ada takdir-takdir terbaik yaa
Mak Irul says
Ada kisah bagus makpon di kalangan shahabiyat nabi. Ada shahabiyah namanya Ummu Hani, Ummu Hani ini pernah dilamar oleh Rasulullah tetapi beliau menolak dan kemudian tetap menjanda sampai akhir hayat. Ada juga shahabiyat nabi bernama Atiqah yang memiliki suami 4 orang. Setiap selesai masa iddah langsung dilamar. Setiap orang memang memilikinya jalannya ya Makpon. Aku mendoakan semoga makpon dimudahkan jalan. Diberikan keberkahan. Karena itu lebih penting sih daripada urusan sendiri atau berdua hehehe. Lama nih kita ga ketemu. Semoga dirimu masih mau berkawan denganku yo ???
Mira Sahid says
Inshaallah, apapun itu ya Mak. Ah, Mak Irul tetap teman untukku Mak. Semoga kita bisa berjumpa kembali dalam keadaan sehat dan berbahagia yaa
Mitri says
Big hug?
Lia says
Meskipun aku bukan ibu tunggal, tapi tulisan ini relate juga untukku yang sampai sekarang memutuskan ingin tetap sendiri. Terima kasih sudah menulis ini, Mba Mira. Sehat-sehat selalu ya, Mba. ?
Mira Sahid says
Sehat-sehat juga ya Lia
Bunda Ratna says
kadang menikah tidak segampang yang dipikirkan oleh orang lain, tetap semangat ya Mba Mira
Mira Sahid says
Apapun akan terasa tidak gampang, kalau memang kita berpikir itu tidak gampang 🙂
M Arifin Basyir says
Selama perempuan itu masih punya sklus kawin atau menikah itu sangat perlu untuk menjaga srabilitas kesehatan reprodulsi. Ada referensi bahwa petsmpuan single, baik single patent maupun single girl akan mengalsmi menopause lebih cepat dengan resiko duakali lebih besar mendeeita kanker sal reproduksi dan organ asesoris (gland mammae) . Kanker yang tergolong estrogen depend. Karena pada petempuan single aksn terjadi ketidak seimbangan hormon gonadoyropin..
Intinya kawin itu akan memucu terjafinya desire of love menuju stabilitas keseimbangan hirminal tsb.
Mira Sahid says
Terima kasih insight-nya yang mencerahkan Pak Arifin.