“Tuhan memang menciptakan segala sesuatu sesuai dengan porsinya, tak lebih, tak kurang.
Kitanya saja yang lupa mengolah dan memaknai apa yang telah diberiNYA.”
Sudah November sejak pertama kali Pandemi hadir di Indonesia, dan diumumkan lockdown per-Maret lalu. Sebelumnya, hitungan hari terasa sangat lambat, aktivitas full di rumah menjadi hal baru bagi banyak orang, lalu kemudian saling beradaptasi, bahkan kini… saya sendiri merasa akhir tahun telah di depan mata. “Apakabar, hati?” Lagi-lagi, pertanyaan ini yang selalu saya dialogkan ke dalam diri sendiri. Mengingat, rasanya tahun ini berbeda sekali dengan tahun-tahun sebelumnya. Bukan karena Pandemi saja, tapi beberapa hal menjadi langkah-langkah yang mengukir cerita tanpa saya bayangkan sebelumnya. Konon memang, rumus pasti kehidupan, ya perubahan.
November ini, atau bahkan di tiap awal bulan, saya selalu melangitkan doa agar bulan baru bisa membawa kebahagiaan tanpa tapi. Meskipun doa tetap dilantunkan setiap hari, namun perubahan bulan itu, seolah menjadi harapan baru, setidaknya untuk saya. Soal hasilnya sesuai harapan atau tidak, itu urusan belakangan. Yang penting membawa pikiran yang baik-baik dan niat baik saja dulu.
Sebelum saya bercerita lanjut apakah November ini sudah membawa perubahan, khususnya soal rasa, saya coba bercerita dulu sedikit ya, bagaimana cara kerja ‘Rasa’ yang Allah berikan untuk saya dua kali lipat ini. Lho, kenapa dua kali lipat? Bukankah setiap orang memiliki ‘rasa’ yang juga sama, khusunya perempuan? Yes, itu benar sekali. Namun karena saya sudah mempelajari ilmu STIFIn dan menjadi Promotor, dan diketahui hasil Personal Genetik saya ini adalah seorang Feeling Introvert, maka selain rasa yang telah dianugerahkan kepada setiap manusia di muka bumi ini, saya terpilih yang diberi ‘rasa’ lebih banyak porsinya oleh Sang Pencipta sesuai versi STIFIn. Apa itu STIFIn? Nanti saya coba detailkan lagi, ya.
B A P E R
Mungkin kata ini yang terlintas bagi sebagian orang ketika melihat seseorang yang mudah sekali menangis, atau peka sekali dengan rasanya. Hanya saja, saya tidak ingin membahas konteks bapernya, karena bagaimanapun seseorang yang kita anggap baper itu, bisa jadi karena dia memiliki kelebihan rasa. Nah, pr-nya ketika seseorang mengetahui dirinya seorang yang perasa, sensitif, apalagi sangat tau dirinya memiliki mesin kecerdasan Feeling, mampukan dia mengolah rasanya menjadi seorang yang memiliki ‘rasa yang baik? (feeling blue). Ini yang menarik untuk saya bahas di sini, karena saya mengalami sekali “Mashaallah-nya” menjadi seorang ‘Feeling’, introvert pula. Duh, kalau nggak ingat-ingat banget sudah mempelajari ilmu STIFIn ini, mungkin saya sudah bapeeeerrr terus kemana-mana, dan dimana-mana. Masa bodo deh orang-orang mau punya pikiran apa, yang penting hati saya kembali nyaman.
Nah, tadi di atas juga saya bilang soal perubahan. Hidup selalu lekat dengan perubahan. Soal rasa ini juga dipastikan berubah-ubah, naik-turunnya bisa cepat kalau saya. Apalagi jika seseorang yang punya trauma khusus yang melibatkan perasaannya, biasanya jika ada sesuatu yang mentriger ke arah trauma, maka seketika mood dan rasanya pun akan langsung berubah. Ia akan teringat rasa yang pernah ada, ehe.. kaya lagu ST12. Di sinilah letak ujian yang tadi saya bilang diberi rasa dua kali lipat. Karena kecenderungan orang-orang yang mesin kecerdasannya seperti ini, maka respon pertama yang akan bekerja dalam berbagai hal, adalah rasa. Nggak heran, kalau suka lihat ada yang baper. Itu karena bawaan genetiknya begitu, Sis, bro. Dan orang-orang seperti inilah yang kadang serba salah. Menurutnya bahwa respon rasanya adalah biasa, tapi menurut orang lain, terkesan baper. Tapi, lagi-lagi ya saya coba luruskan. Konteksnya, baper ini jangan jadi pembenaran atas kelemahan diri. Itulah kenapa saya bersyukur akhirnya bisa mempelajari ilmu STIFIn, karena ternyata bisa mengetahui sisi kelemahan yang bisa diolah menjadi sebuah kelebihan. Dan juga akhirnya semakin memahami bahwa setiap dari kita itu udah pasti beda, terbagi ke dalam 5 personal genetik sesuai dengan belahan otak masing-masing, Sensing, Thinking, Intuiting, Feeling, dan Insting. Soal kelima belahan otak ini, nanti saya coba detailkan lagi, kalau sempat, hahaha.
Lalu, ketika saya mengetahui bahwa personal genetik diri saya adalah seorang “Feeling Introvert?” Bagaimana perasaan saya? Yang pasti ketika mendengar penjelasan hasil tes STIFIn-nya, saya banyak angguk-angguk kepala, senyum-senyum sendiri, banyak dapat momen aha ataupun krik krik merasa tertampar. Tapi tentu saja, saya juga bersyukur, karena seorang Feeling Introvert (FI) selain diidentikan dengan baper, pribadi ini juga adalah orang-orang yang penuh cinta kasih, punya kharismatik, dan selalu bisa menjadi tempat yang nyaman untuk dicurhatin, katanya gitu. Untuk itulah, memaksimalkan potensi sebagai seorang FI, akan menghasilkan seorang pribadi yang sangat dicintai, karena ia sendiri pun memiliki banyak cinta kasih. Tapi hati-hati buat laki-laki, karena bisa salah kaprah, dan ujungnya malah bagi-bagi cintanya ke banyak perempuan. Ada? mungkin aja, ada.
Yok, bisa yok!
Fokuskan kembali untuk mengolah rasa bagi yang sudah tau personal genetiknya sebagai seorang Feeling introvert atau ekstrovert. Begitupun dengan 4 personal genetik lainnya. yang belum tau PG nya apa, ya mari sini di tes STIFIn dulu. Saya juga sama kok, terus berproses mengolah rasa, karena ternyata lawan terbesar dalam diri, adalah rasa saya sendiri. Dan untuk mengolah rasa itu, saya coba lakukan dengan healing yoga ataupun menulis, kadang TikTok-an, atau bermain gitar dengan suara ala kadarnya. Yang penting rasa saya kembali baik dan tenang. Karena kalau rasa saya baik dan bahagia, maka semua pekerjaan, pertemanan, akan begitu membahagiakan dalam kehidupan saya. Saya juga percaya, teman-teman yang pikirannya bisa terjaga dengan baik (tipe Thingking), atau imajinasinya bisa tercurahkan dalam bentuk karya (tipe Intuiting), atau potensinya bisa dilihat banyak orang (tipe Sensing), dan selalu senang bertermu dengan teman-teman – silaturahmi (tipe Insting), maka saya yakin, hubungan permanusiaan kita ini akan jauh lebih menyenangkan karena kita saling memahami satu sama lain berdasarkan personal genetiknya.
Alhamdulillah, ternyata begini rasanya diberi kelebihan rasa oleh Sang Pencipta. Dalam fase menghadapi persoalan hidup, saya bisa sangat drop jika ujian tersebut melibatkan rasa. Namun di sisi lain, ketika saya memaksimalkan potensi berdasarkan kekuatan feeling dan potensi yang ada, maka itu juga yang membuat rasa saya semakin berbahagia. Jadi, kalau sudah tau begini, ya enggak apa-apa baper sebentar, karena begitulah cara kerja rasa yang bisa memengaruhi hati. Selama bisa mengolahnya, maka semakin banyak cinta kasih yang bisa diberikan kepada orang-orang yang dicintai, anak, orangtua, sahabat, atau mungkin pasangan, bahkan untuk kemaslahatan umat banyak. Aamiin.
“Berbenah, tak penah salah.” Karenamu, aku mengolah rasa.
Nurul Sufitri says
Aku juga pernah ikutan tes Stifin nih dan hasilnya aku masuk tipe SI alias Sensing Introvert. Mirip kita nih ya mak Mira hihihihihihi π Kalau mbak pakai perasaan banget kayaknya dan mudah tersentuh sedangkan aku ada juga seperti itu. Kalau aku perfeksionis dan detail senang berbagi pengalaman riil dll. Seru banget ketika kita mengetahui sifat dan bakat dari tes ini ya mbak π Jadi ada ukuran kira2 mau ke mana arahnya hehehe π TFS.
Lidya says
Dari Stifin ini jadi tau ya kita itu sebagai apa personal genetiknya. Masih penasaran tapi belum kesampaian.
Asyiknya yang masih yohga ya, tempat yoga aku udah tutup nih gak noleh sama pak RTnya. Maaf kalau OOT ada rekomendasi video Yoga buat aku ikutin gak?
Insya Allah kelebihan rasanya selalu bermanfaat ya mak
Dian says
wah aku baru tahu klo dgn tes Stifin ini kita bisa tahu apa personal genetik yg kita miliki ya..
btw aku klo healing ya nulis mbak. .mengalirkan rasa
Tanti Amelia says
Jadi kalau ikut STIFIN bisa lebih merasa atau peka ya makpon?
diane says
Baper itu manusiawi ya mak… Jadi boleh-boleh aja baper asal jangan terlalu berlarut-larut ya… hehe Secara banyak hal penting di sekitar kita yang harus kita prioritaskan, Btw belum pernah nih cobain Stifin..kapan-kapan kalo ada kesempatan mau ah…
Elly Nurul says
Kelebihan rasa yang harus tetap di kendalikan ya mak, apalagi kita sebagai makhluk sosial, ada rasa ingin membantu dan ada rasa ingin dimengerti hasekkk… dengan mengetahui personal genetik gini sebenarnya sangat ngebantu banget ya mak khususnya dalam menghadapi situasi di depan mata, baik itu situasi menyenangkan atau tidak
Nchie Hanie says
MAnusia itu memang diberikan semuanya oleh Allah, rasa dan yang lainnya yang kadang ga di sadari. Bagaimana jika diberikan rasa bisa menghasilkan? Bagaimana dengan rasa bisa jadi rangkaian kata2 yang syantik ini, dan bagaimana jika dengan kelebihan rasa bisa membuka kemudahan dan kemungkinan yang lain.
Hai..hai.. Misyuu Baper, lama tak ngopi ngeBaper bareng niih hahaa
Cindy Vania says
Mba baca ini aku langsung inget anakku lho. dia juga “perasa” banget. Butuh kesabaran tingkat tinggi kalau lagi proses belajar sama anak yang perasa, hehe. aku belajar dikit2 dari anak sulungku, masih belum bisa jadi teman yg asyik dan pas buat dia. tp baca ini jadi lumayan paham dari sisi yang lain
Susi says
Jadi pengen nyoba test itu mbak hehehe.. Tapi kok saya kudet ya kurang familiar dg test itu hooo.. nunggu postingan mbak Mira deh π Oh ya saya tuh orangnya bapean juga mbak, tapi dlm realitanya saya tuh tipe yg ceplas ceplos, bodo amat namun dg hati yg pink hello kitty gitu hahaha
Evi says
Jadi rasa itu bisa diberi nama ya Mbak, feeling introvert, untuk rasa yang berlebih-lebih. Saya semasa remaja pengidap mood swing yang parah. Apa-apa dirasa, orang ngomong apa, eh saya merasa tersinggung. Kalau membaca tulisan Mbak Mira, rasanya saya juda di sana, feeling introvert. Waktu itu saya fokus banget pada perasaan sendiri, malah menuntut dunia harus mengerti. Mana waktu itu belum ada internet apa lagi blog untuk bisa curhat. Menderita banget lah aku waktu itu Mbak. Duh kalau ingat itu sekarang rasanya gimana gitu, pengen nabok diri sendiri.
Hehehe..jadi curhat di blognya Mbak Mira. Maaf ya Mbak π
Mia Yunita says
Saya sendiri mikirnya dan merasa kalo saya introvert. Semasa pandemi gini, yang menuntut harus banyak di rumah dan menghindari kerumunan, saya berasa santai aja hehe. Malah suka, Ya ampun. Bener-bener deh kalo tentang ‘lonely in crowded’ tuh saya banget. Tapi saya santai aja. Oya, kalo STIFIN saya belum pernah. Mungkin suatu saat akan ada waktunya ya, ketemu dengan STIFIN.
nurulrahma says
Aku biasanya isi tes kepribadian di website 16personalities.
Hasilnya bisa berubah2, sesuai mood saya waktu isi jawaban.
Tapi basically, ternyata saya ini introvert juga Mak.
Dan artikel ini beneran jadi sumber pencerahan juga buatku
Makasiii Makpon
Jiah Al Jafara says
Aku belum pernah ikut tes STIFIn. Rasa-rasanya sih orangnya mudah baperan, tapi bukan tipe yang apa-apa langsung nangis. Harus benar-benar dalem dulu. Mengolah rasa itu yang penting biar walaupun sedih tetap kuat
Sapti nurul hidayati says
Semakin kita mengenali diri sendiri semakin bisa menggali potensi dan mengendalikan hal-hal yang bisa membuat tidak nyaman ya. Test stifin itu bisa dilakukan mulai usia berapa? Ini test sidik jari itu ya?
Inna Riana says
haii makponn apa kabar? lama ga mampir di sini π
aku belum pernah ikut tes stifin. jadi penasaran juga.
engg kira2 bakalan tipe apa ya? sensi n baper mah iya hihihi
Dedew says
Aku belum pernah tes Stifin Makpon tapi rasanya aku juga tuh perasa, gampang feeling blue, gampang nggak enak hatinya hehe sekarang berusaha lebih santai, dan menyenangkan diri sendiri karena kita nggak bisa mengontrol perilaku orang lain..
Rosa says
Aku kayaknya tipe feeling introvert juga kayak mbak mira deh. Tapi belum pernah tes stifin sih, hehe.
CUma dari penjabaran Mbak Mira, kok saya merasa ‘gue banget’. Hihi
Siti Hairul says
Alhamdulillah makpon bisa mengelola dengan bai dan menerima dengan pemberian Allah. Kadang ada orang yang menolak punya feeling introvert. Atau menolak punya rasa lebih.
April Hamsa | Parenting Blogger keluargahamsa.com says
Memang kadang kalau tiba2 dihadapkan sama perubahan tu gak nyaman. Tapi emang fitrah dasarnya manusia tuh mudah beradaptasi jd kadang cepet juga berubah dr senang jd melow atau sebaliknya.
Pandemi ini ngeselin tapi jg mengajari cara pandang lain.
Kalau kaitannya dengan perasaan, keknya lbh ke esmosi, bgmn cara ngatur biar kita gak terlalu terbawa suasana tapi juga gak terlalu cuek sama suasana, gitu kali yee mak #imho
Milda Ini says
Tipe anak saya ketiganya semua pakai rasa. Jadi tidak bisa langsung. Sedangkna emaknya tipe to the points. Yah di sinilah seninya mengolah rasa bahkan terhadap anak sendiri
Echaimutenan says
aku diluar ketawa2 mba di dalam nangis-nangs hihi jadi introvert juga sebenarnya ya
yok bisa yok! kita lalui semua bareng-bareng
lendyagasshi says
Aku baca tulisan kak Mira, jadi pengen ngajakin ngobrol di podcast.
Seperti berkaca dengan diriku sendiri.
Sering aku dialog sama diriku sendiri untuk bisa gak terlalu sensitif. Semua-mua pake “rasa”.
Jadi kebawa-bawa moodnya.
Dini Derin says
Ternyata dengan STIFIn, kita jadi tau kepribadian kita ekstrovert atau introvert yang masih diklasifikasikan lagi apakah jenis sensing, thinking, intuiting, feeling ekstrovert/introvert… baru tau istilah STIFIn ini, terima kasih Mba Mira…
nita hartini says
ternyata mengolah rasa juga membutuhkan latihan agar tak kebablasan, jadi terispirasi dalam mengolah rasa ..colek jug kak nitamarelda.blogspot yang ikut webinar kakk bersama lpmp banten..sudah sy jawab tantangan kkak membuat blog
Ainur says
Jadi pengen ikut tes STIFIn, pengen tau aja hasilnya gimana. soalnya aku gak peka hahaha
Caroline Adenan says
Kayaknya aku juga sama sih tipenya yg feeling introvert, karena waktu mau di tes bakat sama anakku si Narend, therapistnya bilang, kayaknya sama mamanya ini feeling π Karena Narend anak yg feeling π
Fatih says
Baper muncul dengan sendirinya pada orang-orang yang memiliki perasaan kasihan pada orang lain. Entah kenapa sifat pedulinya terlalu besar saat melihat orang lain bersedih…Tetap semangat mba mira!