Hai perempuan-perempuan yang berdaya, apakabar kalian? Semoga selalu sehat, apapun yang kamu rasakan ketika membaca tulisan ini, semoga bisa kamu olah dengan baik dan menyenangkan.
Tulisan ini masih berkisah seputar perempuan, tentang dunianya yang kadang terasa rumit bagi kaum adam, bahkan menurut saya sendiri. Kok bisa? Iya, dalam beberapa fase, saya memahami kok, bahwa apa yang saya rasakan ini kadang di luar kontrol saya lagi, maunya apa, yang dipikirin apa, kenyataannya apa, ya gitu deh, semua jadi bisa menyebalkan dalam satu waktu. Tapi hey, bukankah soal itu berlaku juga buat kaum adam ya? Di mana ketika kenyataan tak sesuai harapan, maka kecewa pun datang. Soal ini, persepsi saya, iya. Tapi konteksnya tentu akan bisa berbeda, karena para lelaki lebih bisa fokus pada mencari solusi, sementara perempuan? Kadang masih saja berputar-putar di perasaan alias ‘baper’.
Kenapa begitu? Itu karena perempuan dan laki-laki memiliki struktur otak berbeda. Perempuan memiliki dua sisi otak kiri dan kanan, sementara lelaki hanya sisi kiri, atau lebih cenderungnya begitu. Belum lagi, kalau perempuan tersebut harus memikul beban yang dirasanya dua kali lipat. Contoh, seorang ibu tunggal. Lho, enggak cuma ibu tunggal aja keleus yang punya beban dua kali lipat? Oke, sabar. Coba kita bahas saja, ya. Tapi saya ajak teman-teman untuk menyamakan persepsi dulu, bahwa dalam bahasan kali ini, kita bukan untuk mengadu siapa yang paling menderita, tapi untuk saling melihat sisi masing-masing sebagai sesama perempuan. Semoga dari saling memahami ini, kita bisa saling menguatkan satu sama lain.
Menjadi ibu tunggal? Dalam hal ini saya berani bilang bahwa “meeen, enggak mudah ternyata, ya, jadi ibu tunggal.” Sedih, sakit hati, kecewa, marah, merasa tidak berarti, namun juga tetap harus kuat untuk diri sendiri dan anak-anak, plus lagi kudu mikir gimana menyambung hidup dengan mencari nafkah, sempat membuat saya stress dan mumet. PR nya banyak banget, belum lagi label terhadap kaum janda yang masih saja sampai kini, ada yang menempatkannya dalam posisi negatif. Belum lagi candaan-candaan yang berujung pada bully. Banyak dari mereka asik saja menjadikan janda sebagai bahan candaan, tapi sesungguhnya, asli, candaaan janda itu enggak lucu sama sekali. Sampai sini, sudah mulai bisa dilihat kan ya, bedanya ibu tunggal sama perempuan yang masih bersuami. Setidaknya, perempuan yang masih bersuami aman dari label negatif. Ah enggak juga, ada juga tuh yang masih bersuami tapi hidupnya enggak bahagia. Nah! Dari kacamata saya, itu bisa jadi perkara ego, yang sebenarnya bisa dibenahi oleh kedua belah pihak. Kecuali… kecuali ya, ada kdrt. “Sis, kalau sampai mengalami KDRT, jangan diam!” Soal ini saya yang mendukung untuk berani ambil sikap. Kekerasan fisik itu bukan main-main, gila aja! rasanya sakit banget, lahir-batin! Duh, emosi jadinya :P.
Nah, balik lagi ke pembahasan sebelumnya. Benarkah ibu tunggal dua kali lebih kuat dan tegar?
Jawabannya bukan ‘iya,’ tapi memang itu yang harus dijalankan. Menjadi kuat dan tegar sebagai ibu tunggal itu bukan pilihan. Ibu tunggal ya suka atau tidak, mau atau enggak, harus menjalani kesehariannya dengan ketegaran dan kekuatan lahir batin, yang bisa dibilang dua kali porsinya dibandingkan para perempuan yang masih bersuami. Ada sudut atau ruang yang kini harus dipikul sendirian oleh ibu tunggal. Dalam hal ini saya tidak mengajak kalian untuk membayangkan bagaimana rasanya, kecuali kalau kalian sesama ibu tunggal. Sometimes I want everythings gonna be oke, but sometimes I feel not oke. Dan siklus itu bisa terus berulang. Itulah kenapa, pentingnya seorang ibu tunggal memiliki support sistem atau lingkaran pertemanan yang bisa saling mendukung, agar langkah yang dijalani, sedikit demi sedikit bisa terlewati dengan dukungan orang-orang terdekat.
Saya banyak belajar dari ibu tunggal lainnya, yang melewati bertahun-tahun dengan pilihannya untuk menjajaki kehidupan bersama anak-anaknya. Jika ditakdirkan kembali mendapatkan pasangan, tentu itu menjadi kebahagiaan. Namun jika saatnya belum tiba, inilah yang jadi proses luarbiasa yang harus dijalani. Sekali lagi, menjadi kuat dan tegar bukan pilihan lagi, tetapi ya memang harus menjadi kuat dan tegar. Untuk diri sendiri, untuk anak-anak, dan untuk langkah selanjutnya.
Jadi, kalau pertanyaannya kini, “haruskah ibu tunggal dua kali lebih kuat dan tegar?” Iya, menurut saya. Dan tentunya kuat dan tegar sebagai perempuan. Saya yakin menjadi seorang perempuan saja, tugasnya sudah tidak mudah di dunia ini. Banyak stigma yang harus dibuktikan ketidakabsahannya perkara perempuan. Kali ini atas nama perempuan, jadilah kuat, minimal untuk dirimu sendiri.
Dan di era sekarang, semua peluang dan aktivitas pun banyak yang bisa dilakukan oleh perempuan. Jadi, kalau ibu tunggal diharuskan kuat menjadi bagian dari kerasnya kehidupan dunia, pun begitu dengan kita, semua perempuan. Merasa lelah, boleh. Namun menjadi lemah? Coba runutkan sudah berapa banyak ketidaknyamanan yang mampu terlewati hingga kini? Perempuan selalu memiliki kekuatan lebih untuk bisa melewati berbagai hal, baik itu ibu tunggal, istri, ataupun perempuan lainnya. Asalkan kita ingat, tetap berhati-hatilah dengan kekuatan yang kita miliki, karena jika salah dalam mengambil tindakan, maka perempuan juga yang akan menghancurkan segalanya, seperti berita viral beberapa hari lalu tentang istri tentara yang khilaf dalam mengepos status di facebook. Perempuan kuat, untuk menjadi berdaya dan berkarya, bukan menjadi bahaya. Think before posting!
“Jika tiba saat kau lelah, semoga jiwamu tak melemah, untuk terus kembali melangkah merangkai kisah dengan indah.”
Yanti says
((Sedih, sakit hati, kecewa, marah, merasa tidak berarti, namun juga tetap harus kuat untuk diri sendiri dan anak-anak, plus lagi kudu mikir gimana menyambung hidup dengan mencari nafkah))
Ibuuu….mewakili sekali
Mksh tulisan²nya??
Caroline Adenan says
Menurutku bener sih, ibu tunggal secara prakteknya akan jd lebih kuat ketimbang wanita yng bersuami. Krn keadaan sih lebih tepatnya. Krn keadaan kerasa dipaksa untuk hidup berjuang lebih baik untuk anak².
Tetap kuat ya Mira *hugs*