Flashback pada masa saat anak-anak saya masih sekitar usia golden age, 0-5 tahun, adalah masa yang tentunya sangat indah, unik, penuh cerita, dan kenangan tentunya. Meski hingga kini, masa-masa tersebut masih berjalan. Saya sadar betul, mengasuh anak sejak kecil itu sulit, penuh perang batin, namun juga penuh kebahagiaan dan kesenangan.
Tapi pada akhirnya, proses pembelajaran sebagai ibu, sebagai orangtua, berjalan learning by doing. Bisa jadi begitu juga yang dialami para Ibu yang pernah melewati masa-masa ketika mengasuh anak di usia segitu. Ye kaan? *kemudian tersenyum.
Proses Mengasuh Anak Bukan Proses yang Mudah
Buat saya, proses dalam mengasuh kedua anak saya semasa mereka balita, memiliki keunikan masing-masing. Si sulung, perempuan yang tak terlalu banyak tingkah, ia hanya mengikuti apa yang mamanya arahkan. Dan tentu, bagian sedihnya, ketika ada masa-masa saya memarahi dia, dia pun hanya bisa diam, atau menangis.
Saya sadar betul, saya telah menyakiti hatinya sedari kecil. Saya telah merusak sel-sel dalam otaknya, yang bisa jadi akan merusak perkembangannya kelak. Hiks, kok tiba-tiba saya jadi sedih yaa mengingatnya. *Menyesal detected.
Lalu, ketika jagoan kecil lahir, perhatian saya tentu terbagi. Namanya juga istri, dan ibu. Dulu, ya kudu ngurus suami, ngurus anak-anak, ngurus rumah (tanpa pembantu), dan juga ketika itu saya sedang menjalankan bisnis MLM.
Meski seserempong, saya adalah perempuan yang selalu pengin punya penghasilan sendiri. Makanya, meskipun kudu bawa krucils (yang satu digendong), dan satu ditenteng, plus bawaan tas yang lengkap dengan seperangkat alat popok dan susu, saya jabani. Iyaa, demi saya bisa tetap bisa mendapatkan uang jajan buat beli bedak, atau bisa ngasih buat orangtua.
Hingga dalam bisnis MLM tersebut saya bisa mencapai posisi 3 level dengan penghasilan belasan juta. Senang, iya lah? Meski pada akhirnya saya memutuskan untuk tidak meneruskannya.
Kebiasaan Buruk Ibu dalam Mengasuh Anak
Ok, tapi bukan soal itu yang ingin saya bahas detail di sini. Tapi tentang sebuah hal yang saya sebut “kebiasaan buruk” terhadap anak-anak.
Jangan ditanya, kalau dalam mengasuh kedua anak saya yang masih piyik-piyik itu berjalan mulus dan tentram-tentram saja. Ada kok, momen saat saya lelah sekali, merasa capek, dan stress, kesal, bete, sedih, pengen pergi jauh, dan godaan syaitan lainnya, yang terus merusak pikiran dan perasaan baik saya.
Apa saya menyadarinya saat itu? Sepertinya sadar, tapi masa bodoh. Saat itu saya hanya menuntut diri saya bahwa segala sesuatunya harus sesuai dengan ekspektasi saya. Rumah enggak boleh berantakan, anak-anak harus nurut. Lah gimana, usia-usia segitu boro-boro bisa ngikutin maunya orangtua. Yang ada, kan kudunya kita sebagai orangtua yang menerapkan pola pengasuhan sebaik-baiknya, dan menekan ego sebanyak mungkin.
Yaa, begitulah saya saat usia-usia mahmud, antara 23 sampai 27 tahun kali yaa. Jadi, kalau ada teman-teman, seorang ibu yang merasakan momen-momen tersebut, percayalah, saya pernah berada di masa ketika, ya kudu kerja juga nyari duit, ya kudu ngasuh anak. Pokoknya, tumplek, yang akhirnya bikin diri mudah marah-marah sama anak, dan berteriak.
Tolong Hentikan Terikanmu, Mom!
Mungkin, mungkin ya. Andaikan saat itu kedua anak saya bisa bicara dengan berani, mungkin mereka akan bilang, “Mom, atau Bu, tolong hentikan teriakanmu! Mama telah menyakiti hati dan perasaan aku.”
Whuaa, tuh kan malah jadi mewek. Meski saya bisa pastikan, dan seingat saya, intensitas saya dalam memarahi anak atau sedikit berteriak, tidak terlalu sering. Tapi tetap saja, saya menyesal.
Saya menyesal, karena terus menuntut agar diri dan kehidupan saya harus sesuai dengan apa yang saya harapkan. Juga karena selalu ingin menjadi ibu yang hebat bagi anak-anak saya. Saya tidak ingin terlihat lemah dan kekurangan, dengan alih-alih saya sedang mendidik mereka.
Ternyata persepsi saya tersebut, SALAH. Tidak ada makhluk yang sempurna di dunia ini, bahkan seorang ibu sekalipun. Namun, bagaimanapun, ibulah sumber kasih sayang, namun juga sumber yang bisa jadi merusak sel-sel otak pada anak dengan cara memarahi mereka atau berteriak secara perlahan.
Astagfirullah hal adziim. Mari beristigfar ya, Buibu.
Tidak ada anak yang terlahir nakal atau menyebalkan
Yang ada adalah bagaimana ibu, atau orangtua mencurahkan kasih sayang dan pola mengasuh anak sebaik-baiknya.
That’s why hai, para suami, sebaiknya Anda tidak membebankan proses mengasuh anak hanya pada ibu. Ibu adalah seorang istri, yang juga manusia biasa. Jika suami sibuk bekerja, mungkin cara sederhana yang paling mudah adalah dengan mencurahkan kasih sayang tanpa batas untuk sang istri, agar ia merasa nyaman, dan bahagia.
Konon, jika istri senang dan bahagia, maka keluarga dan anak-anak pun Insya Allah happy (sederhananya). But wait, pertanyaannya, bagaimana jika seorang single mom seperti saya? Hihi, tenang, saya dan teman-teman single mom sendiri punya cara yang mungkin, sulit dipahami oleh perempuan-perempuan yang masih memiliki keluarga utuh (punya suami). Jadi mending enggak usah dibayangkan, ya. I am my resque. (mengutip kalimat seorang teman).
Ingat Akan Dampak yang Mungkin Terjadi
Well, tulisan ini muncul karena sudah beberapa waktu ini saya seperti diingatkan pada momen-momen dulu. Saya merasakan sakit hati, telinga panas, dan dada sesak ketika melihat seorang ibu yang terus memarahi anak, dengan suara lantang dan berteriak.
Sang anak pun benar-benar menjadi cerminan orangtuanya. Ia menjadi anak yang agresif, juga membangkang, dan sulit diarahkan. Ia seperti tak peduli siapa di hadapannya. Tak sedikit kata-kata kasar pun keluar dari mulut sang anak.
Percaya deh, saya mengalami langsung dampak tersebut. Anak-anak saya sempat berada di masa mereka malah semakin sulit diatur, tidak percaya diri, kehilangan konsentrasi, dan beberapa dampak lainnya. Dan ini menjadi PR saya bersama ayahnya untuk memperbaikinya, kini.
Jadi, sebelum terlambat, sebaiknya ibu mulai memahami, dan memperluas kesabaran. Bangun komunikasi yang baik dengan suami, dan juga anak. terutama ibu yaa. Coba ikut sesi-sesi healing, atau olahraga yoga, supaya lebih bisa mengontol emosi dengan baik.
Alhamdulillah, meski saat ini saya juga bekerja sebagai seorang freelancer, plus mengasuh anak saya secara langsung, minimal saya tidak lagi berteriak kepada anak-anak, dan terus membangun komunikasi dengan mereka.
It’s OK if not OK
“Bu, tolong hentikan teriakanmu.”
Ingin sekali saya memeluk ibu tersebut, dan berkata, “Dear, it’s ok if not ok, tapi jangan paksa dirimu terlalu jauh. Kamu hanya akan memberikan dampak kurang baik pada anakmu dengan caramu seperti ini, kelak.”
Namun sayang, sampai saat ini, saya hanya mampu beristigfar terus ketika hal tersebut berulang. Saya hanya mampu berterima kasih pada Allah, karena saya terus diingatkan, untuk bisa mengasuh anak saya dengan cara lebih baik, dan sebaik-baiknya, hingga mereka dewasa. Insha Allah.
“Nak, maafkan Moma yang dulu. Maafkan moma yang telah merusak masa indah kecil kalian. Maafkan Moma dengan segala kelemahan dan kekurangan Moma. Sungguh, Moma meyesalinya, dan izinkan Moma untuk memperbaikinya. Maafkan kami juga yang saat ini, di saat usia kalian beranjak abg, kami tak bisa memberikan keutuhan dalam keluarga ini. Namun Insya Allah, kami selalu ada untuk kalian. Cinta kami tak akan berkurang untuk kalian. Mari kita terus bersyukur dan berbahagia. We always love you both.”
Btw, bagaimana pengalaman dengan teman-teman (para ibu) saat mengasuh anak yang masih balita? Aman dan terntramkah?
*Featured image by TOTS Family
Dewi Nuryanti says
Saya dulu sangat emosional apalagi setelah melahirkan anak kedua yg hampir membuat sy kehilangan nyawa.Setelah berjuang utk tetap bs hidup setelah melahirkan anak ke2,sy sgt emosional.Marah-marah saja kerjaan sy termsk pada anak pertama sy. Sy merasa sangat bodoh dan kerdil saat itu tp tak mampu mengatasi gejolak jiwa sy sendiri hingga akhirnya sy disadarkan oleh sebuah peristiwa pahit namun sgt berarti.Sejak itu sy berusaha utk tdk kasar dan membentak anak saya. Saya sgt menyesal telah melakukan kekasaran pd anak pertama saya. Skrg anak pertama sy sedikit pembangkang meski masih dpt diarahkan. Saat ini yg dpt sy lakukan hny memohon ampun pdNYA dan berusaha lebih mengontrol emosi sy. Makasih Mba utk tulisannya.
Mira Sahid says
Terima kasih juga untuk sharingnya ya, mba. Mari kita terus memperbaiki diri.
Ratusya says
Aman dan tentram versiku lah makpon. Wkwkwkwk. Walaupun gempor…
Anyway, menurutku setiap anak dari setiap keluarga, unik karena berbeda2 lingkungannya yg artinya gaya parentingnya juga beda2 sih. Belum tentu gaya bu psikolog cucok sama anak saya. Hahahaha
Mira Sahid says
Hahaha. Ini sindiran halus banget ya Ratu. Alhamdulillah kalau versimu aman dan tentram. Iya banget, setiap orangtua punya style sendiri dalam mengasuh anak-anak, tapi kurasa sebagian banyak sepakat bahwa memarahi anak dengan membentak dan berteriak bukan style yang baik untuk diterapkan. Semoga dirimu jangan sampe keceplosan yee 🙂
Sandra Nova says
Kadang kalau capek, lelah & letih kita ngga bisa mengotrol teriak ke anak, abis itu nyesel…. Situasi kondisi Ibu emang mempengaruhi semuanya, kayak aku kerja, ngga punya pembantu, nyetir sendiri, anter jemput anak ke daycare sebelum kerja itu rasanya pengen marah2 kalau anak ribet padahal kita sendiri lagi banyak masalah… Dukungan pasangan atau orang terdekat sangat penting, mengingatkan dan sekedar memberi waktu utk si Ibu mengambil jarak sedikit sama anak, inhale-exhale, agar berhenti berteriak 🙂
Utie adnu says
Iy bnr mak 1 teriakan ibu justru tdk memecahkn masalah mungkin iya, ank akn trdiam tetapi sakit akn teriakan ibu itu d simpandn akn d ingat trus,, noted bngt mba
Dian Farida Ismyama says
anakku yang pertama malah bilang langsung kalo aq marah2, “Kakak sedih, Bunda jangan marah2.” :(. Lagi berusaha banget nerapin komunikasi efektif dengan memandang dari segi anak. tapi memang sikon itu mempengaruhi banget, dan kalo ibunya lagi kemrungsung, ke anak juga berasa dan jadi rewel.
muti mimut says
Terimakasih sudah mengingatkan mba, biasanya ketika kita merasa lelah dan capek, tingkat emosi akan meningkat. Menjadi seorang Ibu memang harus belajar mengelola emosi yaa
ivonie says
hiks, benar banget mak mira. Pengasuhan anak kedua ini, belajar dari pengalaman anak pertama yang seriiiing banget saya marahi, mulai bentak sampai cubit, hiks. dan sekarang sambil mengaasuh adiknya saya terus belajar memperbaiki kesalahan dulu
Tati Suherman says
Kalau ingat dulu jadi sedih ya, si kaka saya perlakukan kasar. Sekarang sudah besar seringkali ingat masa kecilnya dan selalu saya minta maaf dan memberinya pengertian sambil dibimbing juga. Alhamdulillah tetap bisa diatur namun agak lambat mikirnya. Namun saya selalu memberinya motivasi dan semangat dan saya sadar jadi tidak banyak menuntut padanya. Syukur sekarang dia sudah duduk di semerter 1 memilih menjadi perawat. Untuk menebus semua kesalahan saya yang dulu. Saya harua sabar dan selalu mensupportnya.
Inda chakim says
Makpon, makasih udh ngingetiiinnn ya,
Kudu banyak dana terus berbenah saya mah, byr bs jd ibu yg baik bwt si ken,
fika anaira says
mba tulisannya membuat saya merenung, terkadang saya memarahi anak kalo lagi belajar. Rasanya emosi memuncak kalo anak tidak nurut
Sandra says
Dear Moma makasih udah mgingetin mahmud kayak saya hehe^^
andrea says
ya ya.. kalau kita marah2.. nanti anak2 tidak bisa terbuka dengan kita karena takut apa yang dilakukan nya salah
Tri Aryani says
Mengasuh anak-anak ibarat mengasah kesabaran yah Bun…
Emosi diuji naik-turun…,meski lebih banyak naiknya, yang saya ingat, hehehe.., semoga semakin baik dalam membimbing anak-anak kelak, Aamiin, terimakasih sharing nya bun..Mira
dewi indriyani says
Aku juga agak khawatir nih lagi mengandung anak gini, nantinya akan jadi ibu yang seperti apa. Secara kita pribadi gak terlahir menjadi seorang ibu yah. Status ibu dijalanin pelan-pelan sambil belajar. Pasti ada rasa menyesal jika ngerasa kita ngelakuin hal yang kurang baik kepada anak. Cuma bisa berdoa dan minta maaf, karena belum bisa menjadi ibu yang sempurna. Mari terus belajar yah kak.
ummuqisya says
bener sekali bunda, kadang ketika posisi lagi capek dan sumpek, terus anak ngegoda sekali ituh gak sampai pikir panjang udah teriak, namun sy selalu berusaha menahan diri, meski kadang harus termuntahkan haha, adalagi yang bikin miris, saya harus kerja sementara anak saya titipkan neneknya (mertua), lambat laun sy gak suka melihatnya meneriaki anak saya, akhirnya sy bawa anak sy bekerja selama bisa.
yang mau saya tanyakan, bagaimana ya sy harus mengkomunikasikan pada sang nenek, agar supaya lebih halus, dan tak mudah berteriak, pernah saya singgung malah tersinggung orangnya, ?yang kedua bagaimana cara mom ketika anak anak mom benar benar kelewat batas dan membuat marah??
nusantara furniture says
bgaimanapun caranya memang kekerasan verbal harus segera di hentikan dan dihilangkan sedini mungkin untuk mencegah kekerasan verbal untuk selanjutnya.
Ayu Oktariani says
Saya masih terus belajar dan memperbaiki diri soal hal ini nih makmir. Alhamdulilah jauhhh lebih baik karena anakku juga semakin besar. Thanks for remind us! love u mak
ahnita says
ini informasi yang sangat penting bagi para orang tua yang masih mendidik anaknya dengan menggunakan emosi dan keegoisan mereka.
segala sesuatu yang berlebihan pasti kan memberikan efek yang tidak baik
sebaiknya sebelum bertindak, para orang tua lebih memiikirkan apa yang akan dirasakan dan diperoleh anak
Artikel yang sederhana dan bagus
pastinya pasti akan banyak pengunjung
dan
semoga artikel ini semakin banyak yang membaca dan membagikannya
Cerita Dewasa Terbaru
nurulrahma says
Makpooon, kok aku tertujesss sampe nungging nungging nih yaaa