Hari itu, hari keempat pasca banjir, hujan masih datang dan pergi, meski ia hadir sekedar menyapa dalam lembut. Saya masih menjalani serangkaian proses beres-beres, semampunya, sendiri, kadang 7 kucing yang akhirnya jadi teman bicara dan hiburan.
Si sulung sudah kembali ke tempat ayahnya, karena mendapat kabar bahwa ayahnya pun dirawat karena thypus, si bungsu semalam menginap di rumah sahabat.
Beberapa teman dan sahabat menyarankan, “sabar, pelan-pelan saja beres-beresnya,” iya, semampunya kok. Tapi memang, ketika tubuh sudah memberikan sinyal, maka jeda adalah hal yang tak boleh dihiraukan. Secangkir kopi atau coklat panas pun jadi teman setia sebagai penghangat tubuh, dan kaki yang yang mulai terasa dingin, kaku, lumayan sakit saat jalan bolak-balik teras ke dapur, atau ke kamar. Sahabatku bilang, “hati-hati asam urat.” Btw, obatnya apa dong?
Tepat di teras tempat duduk ini, saya memandang langit, sambil menuliskan cerita ini. Oh, iya, foto ini diambil pakai tongsis. Hehe, teteup ya, emak butuh eksis. Saat jeda ini, mungkin saat saya healing dengan cara menulis. Beres-beres tanpa ada teman bicara itu, sepinya berasa. Sahabat-sahabat sudah datang menjenguk, dan itu menyenangkan, serta menenangkan. Selebihnya, waktu-waktu lainnya, adalah menjadi tanggung jawab saya sendiri. Mau sedih, tenang, selow, dibawa happy, ataukah mau biasa-biasa saja. Bagian ini nih, diujinya kesabaran dalam mengelola rasa dan emosi. Masih saja naik turun. Atau mungkin, pasca banjir ini, beres-beres juga, menjadi pemicu saya merasakan lelah, dan stres.
Seorang teman melalui whatsapp chat mengingatkan, “jangan abaikan perasaan yang mudah naik-turun, ya Mak. (Swing mood) She said, find your grieve.”
Setelah tulisan status kemarin itu, saya coba menelaah diri saya kembali, apa iya saya masuk dalam fase stres atau depresi. Ah, mungkin ini hanya perkara kelelahan saja. Tetapi memang, selama ini saya selalu memendamnya saja sendiri perasaan ini. Atau mencoba “it’s oke, kamu baik-baik aja kok, Mir”. Seolah terus menekan apa yang menjadi ketidaknyamanan, padahal entah bagaimana nanti jika sudah menumpuk.
Banyaknya juga, ya menyalahkan diri sendiri kalau lagi kumat. Nangis! Nekat-nekatnya, membiarkan perut enggak makan sampai magh terasa menyakitkan. Enggak apa-apa, kadang membiarkan magh kambuh, saya malah berpikir dengan cara itu saya kembali sadar, “oh, sakit. Ayo bangkit.” Sigh, aneh memang!
Dan yang paling penting saya sepakat dengan apa yang dikatakan teman saya itu, adalah “find who can be fair to you, who just listen without judging.” Ini bukan soal kurang iman atau kurang sholat, dan dzikir, katanya. Karena soal ibadah, seperti dalamnya lautan, kita tidak akan pernah tau sedalam apa ibadah yang telah dilakukan seseorang.
Ah, iya. Saya memang bukan manusia sempurna juga, belum solehah juga, kok. Dosa masih numpuk. Tapi sudut pandangnya dia, menguatkan saya, setidaknya, saya sedikit yakin, kalau saya bukan manusia hina-hina banget, gitu.
Selalu ada Alhamdulillah dari Setiap Musibah
Dalam waktu-waktu istirahat saya saat beres-beres, biasanya saya baca-baca berita. Memantau perkembangan pasca banjir di tempat-tempat lain. Banyak hal yang membuat saya terus mengucap Alhamdulillah, karena banjir yang datang ke rumah saya ini belum seberapa dibanding mereka yang kehilangan banyak sekali, bahkan sampai rumahnya terendam. Meski membutuhkan sekitar 10 hari untuk membereskan semua ini, saya tetap bersyukur karena banyak sahabat dan teman yang memberikan doa dan dukungan agar saya kuat. Banyak rejeki dan nikmat yang Allah beri, yang akhirnya membuat saya semakin sadar (atau merasa malu tepatnya), karena Allah itu sayang terhadap UmatNya.
Eh, by the way, semoga tulisan ini jadi enggak terlalu melebar ya. Intinya, dari kejadian banjir yang melanda di awal tahun beberapa waktu lalu, telah menjadi pembelajaran untuk saya pribadi, juga ujian tentang bagaimana saya menerima yang telah menjadi ketetapanNya. Kaitannya dengan mental health yang saya tulisakan, ya ini juga sedikit beririsan. Mungkin setelah ini saya akan bahas lebih detail lagi. Dengan segala kelemahan saya, saya tetap mengucap Alhamdulillah untuk musibah ini. Semoga apa-apa yang hilang, Allah gantikan dengan yang lebih baik.
Dear me…
Let’s fight to grow strong and happy!
nita juwithafina says
Semangat Mba mira..:)
Mira Sahid says
Harus dijaga terus semangatnya, karena itu salah satu modalnya untuk bertahan yaa
Lesi says
Semangat terus bun, selalu ada hikmah disetipa musibah,
Mira Sahid says
Aamiin, makasih yaa