“Ma, pegal, tahu…!”
Kalimat di ujung pesan text yang saya baca melalui layar ponsel, sedikit membuat kening saya berkenyit.
“Lho, memang Kakak naik apa?”
“Kereta!” jawabnya singkat.
Sejenak saya menghela napas, karena seiring dengan jawaban teks yang dikirimkannya, Kakak Vinka juga mengirim sebuah foto saat ia sedang berada di dalam commuterline. Perjalanan tersebut sedang ia tempuh saat menuju pulang ke rumah, setelah akhir pekan beberapa waktu lalu Vinka ikut serta bersama ayahnya.
Ketika Harus “Tega” Saat Mendampingi Anak
Dalam hati, saya sempat menggerutu, “Hugh, kenapa ayahnya tidak membawa Vinka naik taxi online saja, sih.” Mengingat jarak tempuh Jakarta Barat ke tempat tinggal kami lumayan jauh.
Saya coba jeda sejenak dan berpikir. Oh, mungkin ada alasan tertentu kenapa ayahnya lebih memilih menggunakan moda transportasi umum Cl dibanding taksi online.
“Ya sudah, Nak. Sabar, ya. Seru kan, naik kereta umpel-umpelan.”
“Iya, Ma.” Jawab Vinka mengakhiri obrolan kami dalam teks.
Singkat kata, mejelang maghrib, Vinka sampai di rumah. Wajahnya biasa saja. Tdak terlihat kesal. Dan saya menyambutnya dengan bahagia dan dengan sebuah pelukan. Berpisah 3 hari saja, rindunya sudah teramat dalam sama si sulung ini.
Setelah sempat berbincang dengan ayahnya, kemudian beliau pamit, Vinka kembali melanjutkan rutinitas malam. Urusan belajar pelajaran sekolah dia memang sudah mandiri. Tidak perlu saya suruh-suruh lagi. Hingga akhirnya semua rasa lelah kami sampai di penghujungnya.
Malam belum larut, masih sekitar pukul 21.00. Anak-anak sudah terlelap, sementara saya masih terjaga. Kali ini saya mencoba merenungi apa yang bergejolak di hati dan pikiran saya tadi.
Anak Harus Belajar dari Keseharian
Jujur saja, saya merasa kasihan Vinka harus berdiri dari Stasiun Sudimara hingga Bekasi. Sempat kesal sama ayahnya, meski tidak terucap. Karena kalau saya, mungkin akan memilih kenyamanan anak-anak, dan memesan taksi online saja. Apalagi melihat kondisi anak mulai kelelahan.
Tapi kemudian saya berpikir, anak-anak harus belajar dengan kondisi yang mungkin belum bersahabat dengan mereka setiap saat. Contohnya, ya seperti yang Vinka alami. Berdesakan di kereta, dan harus berdiri lumayan lama. Kalau saya pribadi sudah sering mengalami kondisi seperti itu. Apalagi jaman masih kerja kantoran. Hanya saja, naluri emak-emak kadang suka enggak tega sama anak. Mikirnya, yang panting anak nyaman.
Ya qadarullah. Meski ini bukan pertama kalinya Vinka naik commuterline dan memaksanya berdiri lama, saya bersyukur karena yakin. Allah sedang mengajarkan anak saya untuk belajar menerima keadaan dan melatih kesabarannya.
Terkadang sayanya saja mungkin, yang terlalu khawatiran. Toh, ketika sampai rumah, anaknya datang tanpa mengeluh lagi. Dia happy-happy saja, terlebih perginya bersama Ayahnya sendiri. Sebuah momen yang termasuk momen langka.
Sampai ketika saya tanyakan, “Kakak hafal enggak, lain kali kalau ke rumah Ayah?” Kemudian dia menjabarkan track perjalanan yang harus ia tempuh andaikata di lain waktu harus menggunakan kembali commuterline ke tempat ayahnya. Dan saya pun tersenyum simpul. Vinka cepat belajar dan menyesuaikan. Anakku tangguh, seperti momanya 😀
Mendampingi Anak Memahami Hidup
Malam itu, saya berbicara dengan diri saya sendiri. Menertawakan kekhawatiran saya, atau juga kekesalan yang sempat muncul.
Saya sadar, ada kalanya saya ingin segala sesuatunya bisa membuat anak-anak nyaman, memberikan yang terbaik. Namun sebaliknya, saya juga tidak boleh lupa, bagaimana saya harus mendampingi anak dalam kondisi yang tidak biasa, karena itu juga baik untuk mereka pahami kelak.
Dari sini mungkin nilai-nilai pelajaran yang akan mereka dapatkan. Karena bagaimanapun, kelak mereka akan berjalan sendiri, menghadapi dunia luar tanpa saya atau ayahnya. Mudah-mudahan saja pembelajaran-pembelajaran kecil seperti ini bisa menjadi bekal baginya yang kini terus beranjak remaja.
“Terima kasih, sudah memberi pengertian rasa pada ayahmu, Nak. Berterima kasih jualah pada ayahmu karena telah menjaga dan mengajarkanmu arti bertahan di tengah ketidaknyamanan. Bagaimanapun sibuknya ayahmu, ia adalah lelaki yang tetap akan berjuang untuk gadis kecilnya. Serta ingatlah setiap momen yang kamu lewati bersama ayahmu. Dengan begitu, kau akan selalu merasa nyaman, aman, terlebih jika kau hadirkan Sang Pencipta dalam setiap langkahmu.”
Moma dan Ayah Akan Selalu Ada
Moma dan Ayah, adalah orangtuamu, selamanya. Percaya dan yakini itu. Kamu dan adikmu akan selalu baik-baik saja, karena kami akan selalu ada untuk kalian. Kami teramat mencintai kalian.
Dan untuk para single parent di luar sana, mari kita lepaskan stigma bahwa perpisahan akan membuat anak menjadi korban. Mereka akan baik-baik saja, kita hanya perlu tetap mencintainya dan mendampingi anak dengan sebaik-baiknya.
Ego kita bukan hak anak. Sebaliknya, anak-anak tetap memiliki hak untuk dicintai utuh oleh kedua orangtuanya, dalam segala kondisi.
Mantu Idaman says
Wahh kan Vinka hebat. Memang bener banget, akupun selalu merasakan itu naluri Mama selalu ingin anaknya dapat fasilitas yang nyaman, yang enak, gak kesusahan. Dan naluri Papa selalu ingin anaknya berpetualang, mencoba hal baru kadang deket deket bahaya hehe
Damar Aisyah says
Sudah lama nggak komen di postingan Mbak Mira. Biasanya sa cukup puas setelah membaca. Tapi kaliini beda. Energi positif Mbak Mira sebagai orangtua sungguh terasa saat membaca postingan ini. Tetap jadi orangtua hebat ya, Mbak.
Mak Ijah says
Terkadang kita selalu ngerasa begitu kenapa ya? anak kita nakal, terus kita marah biasa saja. Tapi kalau yang marahin nya ayah nya kadang kita nggak tega liatnya, apalagi kalau si kecil nangis hiks hiks hiks…
Kynda says
Aah, jadi rindu bapak, hiks.. tapi kalo bapak marahnya soal cowok aja, yg lain mah tetep ibuk penasehat terbaik. Hihi..
Dini says
tulisannya sangat bermanfaat kak 🙂
Khairiah says
Salut sama kak vinka mau nyobain hal baru meski nggak nyaman
Media Ilmu Pengetahuan says
Ya ya ya hebat buat dede Vinka , semoga menjadi anak yang sukses dan kelak menjadi orang yang sukses jua. Aamiin
Ya rasa khawatir orang tua terhadap anak-anak memang sangat wajar. Ya saat kita kecil, orang tua kita juga begitu, padahal kita sendiri merasa enjoy saja. Begitu pula anak-anak kita, kita khawatirnya bukan main, eh anak malah santai saja.
Jadi, khawatir itu manusiawi, namun yang penting jangan terlalu ya mba?.
Biarlah anak-anak mendapatkan kesempatan untuk meningkatkan kemandiriannya.