“Hey, kamu baik-baik saja? Aku melihatmu seperti menyimpan sesuatu.” Tanyaku.
“Baik, Inshaallah baik selalu.” Jawabmu.
“Jawabanmu seperti menyiratkan sesuatu.” Gumamku dalam hati. Jika saat ini kamu sedang tidak baik, it’s oke, aku di sini untuk kamu.
Pernah mendapatkan percakapan seperti ini? Saya yakin teman-teman pernah mengalaminya. Saat bertanya pada seseorang mengenai keadaannya, meski ia jawab ‘baik,’ namun pancaran energinya dan matanya menyiratkan bahwa ia sedang tidak baik. Terlebih pada pasangan, atau orang-orang terdekat kita, seperti keluarga atau sahabat. Kondisi seperti ini lumrah ditemui. Mungkin sebabnya karena ia sedang merasakan kejenuhan dalam beraktivitas, atau mungkin, bosan dengan hal yang itu-itu terus. Sebagian orang bisa dengan mudah menceritakan berbagai hal tentang ketidaknyamanannya pada orang yang ia percayai. Namun sebagian, merekalah yang biasa disebut ‘si introvert,‘ yang kadang lebih memilih menyimpannya sendiri. Atau… iya, bercerita saat ia mau, dan kepada siapa, ya terserah dia saja.
Beberapa lingkaran terdekat saya, ada yang seperti ini, saya sendiri pun berdasarkan test stifin, adalah seseorang dengan mesin kecerdasan Feeling Introvert. Nah, udah mah feeling, introvert pula. Gampang bawa perasaan, terlalu peka atau sensitif, namun juga ia bergelimang rasa cinta dan peduli, hihihi. Saya juga termasuk yang kalau pengen curhat, ya tunggu saya mau ngomong sendiri aja, nggak mau dipaksa-paksa. Kurang lebihnya seperti itu.
Dan kemudian, saat mengetahui seseorang yang dekat dengan saya, yang sedang (mungkin) dalam kondisi perasaan tidak nyaman, kepekaan ini bisa bertambah dua kali lipat. Ingin rasanya menjadi manusia yang bisa bermanfaat untuknya, yang bisa membantu kesulitannya, yang bisa menjadi telinganya untuk memberikan ia ruang bicara. Namun, kadang itu juga tak serta merta bisa saya lakukan, jika seseorang itu belum ingin terbuka dengan saya. Padahal, kami dekat. Saya sendiri sering berbagi hal dengannya. Rasanya enggak adil buat dia kalau saya tidak mendengarkan keluh kesahnya. Tapi, ya itu tadi. Kadang kita tidak bisa memaksa seseorang untuk bisa berlaku sama dengan diri kita, kan? Termasuk hal-hal yang mungkin menurut kita sederhana, tapi menurutnya, tidak sederhana.
Satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah, membiarkan dirinya bercengkrama dengan ruang bicara yang ada pada dirinya sendiri. Tunggu sampai ia mempersilakan kita, apa yang bisa dilakukan untuknya. Jika ia hanya ingin bercerita, maka dengarkanlah. Jika ia meminta ditenangkan, maka tenangkanlah. Jika ia hanya ingin didekap, maka dekaplah. Pertanyaannya, apakah kita cukup peka terhadap mereka yang sedang tidak nyaman ini? Atau, pernahkan kita menanyakan “apa yang bisa aku lakukan untuk bisa membuatmu lebih tenang saat ini?” Itu saja dulu, minimal, tanoa berkomentar apapun persoalan yang ia hadapi.
Pernah suatu ketika, saat saya dengan seseorang berargumen, sama-sama sedang keras, sama-sama ngotot, maka kami pun tidak menemui titik temu. Berantem deh. Hingga pada suatu waktu juga, saya ungkapkan, bahwa ketika saya sedang merasa tidak nyaman, saya berharap kamu melakukan ini, atau itu. Setidaknya katakan kalimat ini (…)! *kalimatnya saya enggak tulis di sini ya, rahasia. Dengan begitu, meski nampak sebagai sebuah kalimat sederhana, buat saya itu cukup bisa menenangkan. Sebaliknya, saya pun mencoba memahami apa yang dia harapkan dari saya ketika dia dalam kondisi tidak nyaman. Setidaknya, saat kita sama-sama tahu kondisi masing-masing, kita pun tahu apa yang sebaiknya dilakukan.
Menerima, dan memahami.
Dua kata sederhana, namun terkadang sulit untuk kita praktikkan dalam keseharian kita. Kita seringkali lupa dengan konsep ‘menerima’ karena terlalu tinggi dengan ekspektasi yang dibuat. Pun, kita sulit memahami, karena kita belum bisa menerima segala sesuatu yang berjalan tak sesuai dengan ekspektasi kita. Mungkin, kita perlu kembali sejenak ke diri sendiri, gunakan ruang bicara yang ada dalam diri, hanya diri sendiri. Jika kemudian merasa tak sanggup sendiri, sadari bahwa kita makhluk sosial, yang dalam satu titik, tetap butuh orang lain dalam kehidupan kita.
Saya bersyukur ada sosok yang banyak mengajarkan saya tentang mengolah rasa. Tentang mengolah ekspektasi. Tentang bagaimana untuk bisa meredam emosi. Tentang bagaimana ia mengajarkan saya sikap tenang kala saya kesal, atau marah-marah enggak jelas, dan tentang bagaimana untuk terus memelihara pikiran agar tetap positif. Terkadang, kita hanya perlu menerima saja bahwa diri memang tak selalu baik, maka perbaiki itu dengan mengolahnya, bukan mengubahnya langsung. Pelan-pelan. Semoga saja, dengan kita belajar terus mengolah rasa, kita bisa memahami orang lain, sebagaimana kita bisa memahami diri sendiri. Aamiin. Jadi, jangan biarkan ruang bicaramu terkunci, ya. Boleh sesekali kamu memendamnya. Namun jika kamu menemui sosok yang bisa membuatmu tenang untuk berbagi, maka berilah ia kepercayaan untuk sekedar mendengar keluh kesahmu. “Jangan biarkan hatimu melemah, hanya karena mulai lelah. Namun carilah seseorang yang bisa memberimu arah, untuk kembali melangkah.” –Mira Sahid-
Dear you, Thank you I learned!
Azis Supriyadi says
Waaah ternyata Introvert. Hehe
Mira Sahid says
Iya, Alhamdulillah 🙂
Eki pujiani says
Huhuhu..Ku terharu membacanya..makasi mak Mir ??